Jumat, 16 Desember 2011

Kerajaan Sriwijaya

Sriwijaya (juga ditulis Sri Vijaya, Indonesia: Sriwijaya, Thailand: ศรี วิชัย atau Sri wichạy) adalah sebuah kerajaan Melayu kuno thalassocratic kuat berbasis di pulau Sumatera, yang modern hari Indonesia, yang mempengaruhi sebagian besar Asia Tenggara. Bukti yang solid awal keberadaannya berasal dari abad ke-7; seorang biarawan Cina, I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 selama 6 bulan. Prasasti pertama di mana nama Sriwijaya muncul juga berasal dari abad ke-7, yaitu Prasasti Kedukan Bukit di sekitar Palembang di Sumatera, tertanggal 683. Kerajaan tidak lagi ada di abad ke-13 karena berbagai faktor, termasuk ekspansi kerajaan Majapahit Jawa. Sriwijaya merupakan pusat penting untuk ekspansi Buddhis dalam 8 sampai abad 12. Dalam bahasa Sansekerta, sri (श्री) berarti "beruntung", "makmur," atau "bahagia" dan Vijaya (विजय) berarti "menang" atau "keunggulan".

Setelah Sriwijaya jatuh, itu dilupakan dan sejarawan bahkan tidak dianggap bahwa kerajaan besar yang bersatu bisa saja hadir di Asia Tenggara. Keberadaan Sriwijaya hanya secara resmi dicurigai pada tahun 1918, ketika Perancis sejarawan George Coedès dari École française d'Extreme-Orient didalilkan keberadaannya. Foto udara yang diambil pada tahun 1984 mengungkapkan sisa-sisa kanal buatan kuno, parit, kolam dan pulau-pulau buatan di situs Karanganyar di Palembang menyarankan lokasi sebagai pusat perkotaan Sriwijaya. Beberapa artefak seperti fragmen prasasti, patung Buddha, manik-manik, gerabah dan keramik Cina ditemukan dikonfirmasi daerah itu pernah menjadi tempat tinggal manusia padat. Pada 1993, Pierre-Yves Manguin telah membuktikan bahwa pusat Sriwijaya adalah sepanjang Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di apa yang sekarang Palembang, Sumatera Selatan, Indonesia).
Penulisan sejarah

Tidak ada pengetahuan terus menerus bahkan dalam sejarah Sriwijaya Indonesia; masa lalu dilupakan telah diciptakan oleh para sarjana asing. Tidak ada orang Indonesia modern, tidak bahkan mereka dari daerah Palembang sekitar yang didasarkan kerajaan, telah mendengar tentang Sriwijaya sampai tahun 1920-an, ketika Perancis sarjana George Coedès menerbitkan penemuannya dan interpretasi dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia-bahasa koran. Coedès mencatat bahwa referensi Cina untuk "Sanfoqi", sebelumnya dibaca sebagai "Sribhoja", dan prasasti dalam Melayu Kuno merujuk pada kekaisaran yang sama.

Sriwijaya telah menjadi simbol penting Sumatera awal sebagai kerajaan besar untuk menyeimbangkan Jawa Majapahit di timur. Pada abad kedua puluh, baik kerajaan yang disebut dengan intelektual nasionalis untuk berdebat untuk sebuah identitas Indonesia dalam suatu negara Indonesia sebelum negara kolonial Belanda.

Sriwijaya dan dengan ekstensi Sumatera telah dikenal dengan nama yang berbeda untuk orang yang berbeda. Orang Cina menyebutnya Sanfotsi atau San Untuk Qi, dan ada sebuah kerajaan bahkan lebih tua dari Kantoli yang dapat dianggap sebagai pendahulu dari Sriwijaya. Bahasa Sansekerta dan Pali disebut sebagai Yavadesh dan Javadeh, masing-masing. Orang-orang Arab menyebutnya Zabag dan Khmer menyebutnya Melayu. Ini adalah alasan lain mengapa Sriwijaya penemuan begitu sulit. Sementara beberapa nama-nama ini sangat mengingatkan pada nama Jawa, ada kemungkinan bahwa mereka mungkin telah dirujuk ke Sumatera sebagai gantinya.

Bagian pertama "Sri" berasal dari bahasa Sansekerta dan merupakan nama tempat kehormatan, mirip ke Sri Lanka. "Vijaya" dapat berarti "kemenangan", sebuah kerajaan bernama sama di India disebut Wijayanagara. Nama kekaisaran sehingga dapat juga ditulis "Sri Vijaya".

Pembentukan dan pertumbuhan


Candi Gumpung, sebuah kuil Buddha di Muaro Jambi Kerajaan Malayu, kemudian terintegrasi sebagai salah satu pusat penting perkotaan Sriwijaya itu.

Pembangunan Borobudur dimulai oleh Sangramadhananjaya dan diselesaikan di bawah pemerintahan Samaratunga.

Bukti fisik Little Sriwijaya tetap. Menurut Prasasti Kedukan Bukit, tertanggal 605 Saka (683 Masehi), kerajaan Sriwijaya didirikan oleh Dapunta Hyang Cri Yacanaca (Dapunta Hyang Sri Jayanasa). Dia memimpin 20.000 tentara (terutama oleh lahan ditambah beberapa ratus kapal) dari Minanga Tamwan ke Jambi dan Palembang.

Kekaisaran adalah pusat perdagangan pesisir dan thalassocracy sebuah. Dengan demikian, itu tidak memperluas pengaruhnya jauh melampaui daerah pesisir dari pulau-pulau Asia Tenggara, dengan pengecualian berkontribusi untuk populasi Madagaskar 3.300 mil ke barat. Sekitar tahun 500, akar Srivijayan mulai mengembangkan sekitar masa kini Palembang, Sumatera, di Indonesia modern. Kekaisaran ini diselenggarakan dalam tiga zona utama - daerah ibukota muara berpusat pada Palembang, lembah Sungai Musi yang berfungsi sebagai daerah pedalaman dan muara saingan yang mampu membentuk pusat-pusat kekuasaan saingan. Daerah hulu Sungai Musi kaya di berbagai komoditas yang berharga untuk pedagang Cina. Modal itu diberikan langsung oleh penguasa, sementara daerah pedalaman tetap di bawah datus lokal sendiri atau kepala, yang diatur dalam jaringan setia kepada Maharaja Sriwijaya atau raja. Angkatan unsur dominan dalam hubungan kekaisaran dengan sistem sungai saingan seperti Batang Hari, yang berpusat di Jambi.

Di bawah kepemimpinan Jayanasa, Kerajaan Malayu menjadi kerajaan pertama untuk diintegrasikan ke dalam Kekaisaran Srivijayan. Hal ini mungkin terjadi di 680s tersebut. Malayu, juga dikenal sebagai Jambi, yang kaya emas dan dijunjung tinggi. Sriwijaya mengakui bahwa pengajuan Malayu akan meningkatkan prestise mereka sendiri.

Menurut Prasasti Kota Kapur, ditemukan pada Pulau Bangka, kekaisaran menaklukkan sebagian Sumatera Bagian Selatan dan pulau tetangga Bangka, sejauh Lampung. Juga menurut prasasti ini, Jayanasa meluncurkan kampanye militer terhadap Bhumi Jawa di akhir abad ke-7, periode yang bertepatan dengan penurunan Tarumanagara di Jawa Barat dan Holing (Kalingga) di Jawa Tengah. Kekaisaran sehingga tumbuh untuk mengontrol perdagangan di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Catatan Cina dating ke akhir abad ke-7 menyebutkan dua kerajaan Sumatera, serta tiga kerajaan lain di Jawa sebagai bagian dari Sriwijaya. Pada akhir abad ke-8, banyak kerajaan Jawa Barat, seperti Tarumanagara dan Holing, berada dalam lingkup pengaruh Srivijayan. Ini juga telah mencatat bahwa sebuah keluarga Buddhis yang terkait dengan Sriwijaya didominasi Jawa Tengah pada waktu itu. Keluarga itu mungkin Sailendras. Garis keturunan penguasa Sriwijaya menikah dengan Sailendras Jawa Tengah dan tinggal di sepanjang dinasti Sanjaya Jawa ketika modal Srivijayan terletak di Jawa.

Selama abad yang sama, Langkasuka di Semenanjung Melayu menjadi bagian dari Sriwijaya. Segera setelah ini, Pan Pan dan Trambralinga, yang terletak di utara Langkasuka, datang di bawah pengaruh Srivijayan. Kerajaan-kerajaan di semenanjung itu negara-negara perdagangan utama yang diangkut barang melintasi tanah genting semenanjung.

Dengan ekspansi ke Jawa dan Semenanjung Melayu, Sriwijaya menguasai dua poin perdagangan utama di Asia Tenggara tersedak. Beberapa reruntuhan candi Srivijayan diamati di Thailand dan Kamboja.

Luas Chaiya, di Surat Thani Propinsi, Thailand, sudah dihuni pada zaman prasejarah oleh suku Semang dan Malaya. Didirikan pada abad ke-3, kerajaan Sriwijaya mendominasi Semenanjung Melayu dan banyak pulau Jawa dari sana sampai abad ke-13. Nama kota Chaiya yang mungkin berasal dari nama asli Melayu "Cahaya" (yang berarti 'cahaya', 'bersinar' atau 'cahaya'). Namun, beberapa sarjana percaya bahwa Chai-ya mungkin berasal dari Sri-vi-ja-ya. Ini adalah modal regional di kerajaan Sriwijaya dari abad ke-13 5 sampai. Beberapa sejarawan berpendapat Thailand itu ibukota Sriwijaya sendiri, tetapi ini biasanya diskon. Wiang Sa dan Phunphin adalah pemukiman utama lainnya waktu itu.

Pada beberapa titik dalam abad ke-7, pelabuhan Cham di sebelah timur Indochina mulai untuk menarik pedagang. Ini dialihkan arus perdagangan dari Sriwijaya. Dalam upaya untuk mengalihkan aliran, raja Srivijayan atau Maharaja, Dharmasetu, meluncurkan berbagai serangan terhadap kota-kota pesisir Indocina. Kota Indrapura oleh Sungai Mekong sementara dikendalikan dari Palembang pada awal abad ke-8. Para Srivijayans terus mendominasi wilayah sekitar masa kini Kamboja sampai Raja Jayavarman II Merah, pendiri dinasti kekaisaran Khmer, memutuskan link Srivijayan kemudian di abad yang sama. Setelah Dharmasetu, Samaratungga menjadi Maharaja berikutnya Sriwijaya. Dia memerintah sebagai penguasa 792-835. Tidak seperti Dharmasetu ekspansionis, Samaratungga tidak memanjakan diri dalam ekspansi militer, tetapi lebih suka untuk memperkuat memegang Srivijayan Jawa. Dia secara pribadi mengawasi pembangunan Borobudur, candi itu selesai pada 825, selama pemerintahannya.

Hubungan dengan kekuatan regional


Reruntuhan Kaew Wat di Chaiya, berasal dari Srivijayan kali

Pada tahun 100 Hijrah (718 M) Raja Sriwijaya bernama Sri Indravarman mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Khilafah Bani Umayyah dan meminta Khalifah untuk mengirim dia seorang pengkhotbah yang bisa menjelaskan iman Islam kepadanya. Surat itu berbunyi:

"Dari Raja raja-raja yang adalah keturunan seribu raja, yang istrinya (nya) juga grand-putri seribu raja, yang dalam (nya) kandang hewan (diisi dengan) seribu gajah, yang ( ) wilayahnya ada dua sungai yang mengairi pohon gaharu, aroma rempah-rempah, pala dan garis kapur yang aromanya wangi menjangkau jarak 12 mil. Untuk Raja Arab yang tidak tuhan lain dengan Allah, Aku mengutus kamu. hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tidak begitu banyak, tapi hanya tanda persahabatan. saya ingin Anda untuk mengirim saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya. "

- Surat Srivijayan Raja, Sri Indravarman untuk Khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Acara ini menunjukkan bahwa pengadilan Srivijayan telah membentuk hubungan diplomatik dan perdagangan dengan dunia Islam-Arab, namun tidak selalu berarti raja Srivijayan telah memeluk agama Islam, melainkan, lebih mungkin menandakan keinginan raja untuk mempelajari lebih lanjut tentang hukum dan budaya nya mitra dagang dan peradaban di seluruh dunia yang dikenal dari Sriwijaya, yaitu Cina, India dan Timur Tengah.

Meskipun catatan sejarah dan bukti arkeologi yang langka, tampak bahwa pada abad ketujuh, Sriwijaya telah membangun kedaulatan atas daerah besar Sumatera, Jawa Barat dan sebagian besar Semenanjung Melayu. Mendominasi selat Malaka dan Sunda, Sriwijaya menguasai baik lalu lintas rempah-rempah rute dan perdagangan lokal, pengisian tol pada kapal-kapal yang lewat. Melayani sebagai Entrepot untuk pasar Cina, Melayu, dan India, pelabuhan Palembang, diakses dari pantai dengan cara sungai, akumulasi kekayaan besar. Utusan perjalanan ke dan dari Cina sering.

Kerajaan Malayu pusat listrik pertama saingan diserap ke dalam kekaisaran, dan dengan demikian mulai dominasi daerah melalui perdagangan dan penaklukan di abad ke 7 dan 9. Kerajaan Malayu emas tambang di pedalaman sungai Batanghari merupakan sumber daya ekonomi yang penting dan mungkin asal kata Suvarnadvipa (pulau emas) nama, bahasa Sanskerta Sumatera. Sriwijaya membantu menyebarkan kebudayaan Melayu di seluruh Sumatera, Semenanjung Malaya, dan barat Kalimantan. Pengaruh Sriwijaya yang menyusut di abad ke-11. Itu adalah konflik sering dengan, dan akhirnya ditundukkan oleh, Jawa kerajaan, pertama Singhasari dan kemudian Majapahit. Ini bukan pertama kalinya Srivijayans bertentangan dengan Jawa. Menurut sejarawan Paul Michel Munoz, orang Jawa Sanjaya dinasti adalah saingan kuat dari Srivijayans di abad ke-8 ketika modal Srivijayan terletak di Jawa. Kursi kerajaan Malayu pindah ke Muaro Jambi pada abad terakhir dari keberadaan Sriwijaya itu.

Kerajaan Khmer mungkin juga telah sungai di tahap awal.

Beberapa sejarawan mengklaim bahwa Chaiya di provinsi Surat Thani di Thailand Selatan adalah setidaknya untuk sementara ibukota Sriwijaya, namun klaim ini secara luas diperdebatkan. Namun, Chaiya mungkin pusat regional kerajaan. Kuil Borom Bahwa dalam Chaiya berisi sebuah pagoda direkonstruksi dalam gaya Sriwijaya.

Phra Boromathat Chaiya disorot oleh chedi dalam gaya Sriwijaya, dating kembali dari abad ke 7 tapi rumit dipulihkan. Relik Buddha diabadikan dalam chedi, di kapel sekitar beberapa patung Buddha dalam gaya Sriwijaya seperti yang dicap oleh Pangeran Damrong dalam Prasasti nya Dikumpulkan dari Siam, kini dikaitkan ke Wat Hua Wiang di Chaiya. Tanggal pada tahun 697 dari era Mahasakkarat (yaitu 775 M), prasasti di atas batu berbentuk Sema Bai bercerita tentang Raja Sriwijaya memiliki tiga stupa didirikan di situs tersebut yang mungkin satu di Wat Phra Borom itu. Tapi juga diasumsikan sebagai tiga stupa di Wat Hua Wiang (Hua Wiang candi), Wat Lhong (Lhong candi) dan Wat Kaew (Kaew candi) ditemukan di wilayah kota Chaiya kuno, berdiri di arah dari utara ke selatan pada tua gundukan pasir.

Setelah jatuhnya Sriwijaya di Chaiya, wilayah itu dibagi ke dalam kota (Mueang) Chaiya, Thatong (sekarang Kanchanadit) dan Khirirat Nikhom.

Sriwijaya juga menjaga hubungan erat dengan Kekaisaran Pala di Benggala, dan sebuah prasasti Nalanda 860 mencatat bahwa maharaja Balaputra didedikasikan sebuah biara di universitas Nalanda di wilayah Pala. Hubungan dengan dinasti Chola dari India selatan yang awalnya ramah tapi memburuk menjadi perang yang sebenarnya pada abad kesebelas.

Usia emas

Setelah gangguan perdagangan di Kanton antara 820 dan 850, penguasa Jambi (Melayu Raya) bisa menegaskan kemerdekaan cukup untuk mengirim misi ke Cina pada 853 dan 871. Kemerdekaan kerajaan melayu bertepatan dengan waktu bermasalah ketika Balaputradewa Sailendran, diusir dari Jawa, merebut takhta Sriwijaya. Maharaja baru mampu untuk mengirimkan misi upeti ke Cina sebesar 902. Hanya dua tahun kemudian, Dinasti Tang berakhir dianugerahkan gelar pada utusan Srivijayan.

Pada paruh pertama abad kesepuluh, antara jatuhnya Tang dan Song kebangkitan, ada perdagangan cepat antara dunia luar negeri dan kerajaan Fujian Min dan Guangdong kaya kerajaan Nan Han. Sriwijaya diragukan lagi manfaat dari ini, dalam mengantisipasi kemakmuran itu untuk menikmati bawah Lagu awal. Sekitar tahun 903, penulis Muslim Ibn Rustah sangat terkesan dengan kekayaan penguasa Sriwijaya bahwa ia menyatakan seseorang tidak akan mendengar dari seorang raja yang kaya, kuat atau dengan pendapatan lebih. Pusat-pusat perkotaan utama berada di Palembang (khususnya situs Karanganyar dekat kawasan Bukit Seguntang), Muara Jambi dan Kedah.

Migrasi ke Madagaskar dipercepat pada abad ke-9, ketika kekaisaran Sumatra kuat dari Sriwijaya menguasai sebagian besar perdagangan maritim di Samudera Hindia.

Pada akhir abad ke-10 persaingan antara Sumatera dan Jawa Sriwijaya Kerajaan Medang telah menjadi lebih intens dan bermusuhan. Permusuhan itu mungkin disebabkan oleh upaya untuk merebut kembali tanah Sriwijaya Sailendra di Jawa, sebagai Balaputra dan keturunan-Nya - seri Sriwijaya maharaja - adalah milik dinasti Sailendra, atau mungkin dipimpin oleh Medang aspirasi untuk menantang dominasi Sriwijaya di wilayah tersebut. Pada tahun 990, raja Dharmawangsa melancarkan invasi laut melawan Sriwijaya, dan tidak berhasil mencoba untuk menangkap Palembang. Dharmawangsa invasi telah memimpin Maharaja Sriwijaya, Chulamaniwarmadewa untuk mencari perlindungan dari Cina. Pada 1006, Sriwijaya di mandala aliansi telah membuktikan ketahanan dengan berhasil untuk memukul mundur invasi Jawa. Sebagai pembalasan, Sriwijaya dibantu Haji (raja) Wurawari dari Lwaram untuk memberontak, menyerang dan menghancurkan istana Medang. Dengan kematian Dharmawangsa dan jatuhnya ibukota Medang, Sriwijaya telah memberikan kontribusi terhadap runtuhnya kerajaan Medang, meninggalkan Jawa Timur dalam kerusuhan lebih lanjut, kekerasan, dan kehancuran selama beberapa tahun mendatang.

Pengaruh kekaisaran telah mencapai Manila abad ke-10. Sebuah kerajaan di bawah lingkup pengaruhnya sudah didirikan di sana.

Pada abad kedua belas, kerajaan termasuk bagian dari Sumatera, Semenanjung Malaysia, Jawa Barat, Sulawesi, Maluku, Kalimantan dan Filipina, terutama Kepulauan Sulu dan pulau-pulau Visayas (dan memang kelompok pulau yang terakhir, serta yang populasi, dinamai kerajaan).

Sriwijaya tetap kekuatan laut yang tangguh sampai abad ketiga belas.

Seni dan Budaya


Patung emas anggun Avalokiteçvara di Malayu-Srivijayan gaya, ditemukan di Rataukapastuo, Muarabulian, Jambi, Indonesia.

Menurut berbagai sumber-sumber sejarah, masyarakat yang kompleks dan kosmopolitan dengan budaya halus, sangat dipengaruhi oleh Buddhisme Vajrayana, berkembang di ibukota Srivijayan. Abad ke-7 Talang Tuwo Prasasti dijelaskan ritual Buddhis dan berkah pada acara menguntungkan membangun taman umum. Para Telaga Batu Prasasti membuktikan kompleksitas dan judul bertingkat pejabat negara Srivijayan, sedangkan Kota Kapur Prasasti Sriwijaya menyebutkan dominasi militer terhadap Jawa. Ini prasasti dalam bahasa Melayu Kuno, bahasa yang digunakan oleh Srivijayan dan juga nenek moyang Melayu dan bahasa Indonesia. Sejak abad ke-7, bahasa Melayu Kuno telah digunakan di Nusantara (Melayu-kepulauan Indonesia), yang ditandai oleh prasasti Sriwijaya dan prasasti lain yang menggunakan bahasa Melayu kuno di wilayah pesisir nusantara, seperti yang ditemukan di Jawa. Kontak perdagangan yang dilakukan oleh beberapa suku-suku pada waktu itu adalah kendaraan utama untuk menyebarkan bahasa Melayu, karena itu adalah perangkat komunikasi di antara pedagang. Pada saat itu, bahasa Melayu menjadi lingua franca dan diucapkan secara luas oleh kebanyakan orang di Nusantara.

Namun, meskipun kekuatan ekonomi, budaya dan militer, Sriwijaya meninggalkan peninggalan arkeologis beberapa di heartlands mereka di Sumatera, berbeda dengan episode Srivijayan di Jawa Tengah selama kepemimpinan Sailendras yang menghasilkan berbagai monumen, seperti Kalasan, Sewu dan Borobudur mandala. Candi-candi Budha tanggal dari era Srivijayan di Sumatera Muaro Jambi, Candi Muara Takus dan Biaro Bahal, namun tidak seperti candi-candi Jawa Tengah yang dibangun dari batu andesit, candi-candi Sumatera dibangun dari batu bata merah.

Beberapa patung Buddha seperti Buddha dan Boddhisattva Avalokitesvara ditemukan di Bukit Seguntang, Palembang, Jambi, Bidor, Perak dan Chaiya. Semua patung-patung yang menunjukkan keanggunan yang sama dan gaya umum yang diidentifikasi sebagai "seni Srivijayan" yang mencerminkan kemiripan dekat - mungkin terinspirasi - oleh kedua gaya Amaravati India dan Jawa Sailendra seni (sekitar abad ke-8 ke 9).
Agama

Sebuah patung 2,77 meter Buddha dalam gaya Amaravati, ditemukan di Bukit Seguntang situs arkeologi, Palembang, sekitar 7-8 Masehi Sumatera Selatan.

".... Banyak raja dan penguasa di pulau laut selatan memuja dan percaya pada Tuhan Buddha, di dalam hati mereka telah berkembang (benih) perbuatan baik. Dalam dinding-dinding ibukota Sriwijaya biarawan Buddha tinggal 1000, mereka telah belajar tekun dan melakukan (ajaran-ajaran mulia) sangat baik .... Jika seorang biarawan Cina ingin melakukan perjalanan ke India dan mencari (Buddha) ajaran-ajaran, akan lebih baik bagi mereka untuk tinggal di sini pertama untuk satu atau dua tahun, untuk memperdalam pengetahuan mereka sebelum melanjutkan studi mereka ke India. ".

- Deskripsi Sriwijaya sesuai dengan I Ching.

Sriwijaya dan raja-raja yang berperan dalam penyebaran Buddhisme ketika mereka didirikan di tempat-tempat yang mereka taklukkan seperti Java, Malaya, dan negeri-negeri lain. Orang-orang mengadakan ziarah didorong untuk menghabiskan waktu dengan para biarawan di ibukota Palembang pada perjalanan mereka ke India.

Sebuah kubu dari Vajrayana Buddhisme, Sriwijaya menarik peziarah dan sarjana dari bagian lain di Asia. Ini termasuk biarawan Cina I Ching, yang melakukan kunjungan beberapa panjang Sumatera dalam perjalanan untuk belajar di Universitas Nalanda di India pada 671 dan 695, dan Bengali Budha abad ke-11 sarjana Atisha, yang memainkan peran utama dalam perkembangan Buddhisme Vajrayana di Tibet. I Ching juga dikenal sebagai biarawan Yijing dan lain waktu dipraktekkan versi murni dari Buddhisme meskipun agama diizinkan untuk perubahan budaya yang akan dibuat. Dia juga diberikan kredit untuk menerjemahkan teks Buddhis yang memiliki sebagian besar instruksi pada disiplin agama. I Ching melaporkan bahwa kerajaan adalah rumah bagi lebih dari seribu sarjana Buddhis, melainkan di Sriwijaya bahwa ia menulis memoarnya Buddhisme selama hidup sendiri. Wisatawan ke pulau-pulau menyebutkan bahwa mata uang emas digunakan di pantai, tapi tidak di pedalaman. Sebuah Srivijayan terkenal cendekiawan yang dihormati Buddhis Dharmakirti yang mengajarkan filsafat Buddhis di Sriwijaya dan Nalanda, dia adalah guru dari Atisha.

Ekonomi dan Perdagangan

Dalam dunia perdagangan, Sriwijaya cepat naik menjadi sebuah kerajaan berjauhan mengendalikan dua bagian antara India dan China, yaitu Selat Sunda dari Palembang dan selat Malaka dari Kedah. Rekening Arab menyatakan bahwa kerajaan Maharaja begitu besar bahwa dalam dua tahun kapal tercepat tidak bisa bepergian putaran semua pulau-pulau, yang menghasilkan kamper, gaharu, cengkeh, kayu cendana, pala, kapulaga dan cubebs, gading, emas dan timah , membuat Maharaja sekaya apapun raja di India.

Selain membina hubungan perdagangan yang menguntungkan dengan India dan China, Sriwijaya juga menjalin hubungan perdagangan dengan Arab. Sangat mungkin, seorang utusan yang dikirim oleh Maharaja Sri Indravarman untuk memberikan suratnya untuk Khalifah Umar bin Abdulaziz dari Ummayad di 718, itu kembali ke Sriwijaya dengan Zanji (budak perempuan hitam dari Zanj), saat ini Khalifah untuk maharaja. Kemudian kronik Cina disebutkan tentang Shih-li-t-'o-pa-mo (Sri Indravarman), Maharaja Shih-li-fo-shih di 724 telah mengirimkan sebuah kaisar ts'engchi (ejaan Cina Arab Zanji) sebagai hadiah.
Menurun


Sebuah lukisan yang menggambarkan serangan Siam Chola di Kedah.

Pada 1025, Rajendra Chola, raja Chola dari Coromandel di India Selatan, menaklukkan Kedah dari Sriwijaya dan menduduki itu untuk beberapa waktu. Para Cholas terus serangkaian penggerebekan dan penaklukan bagian Sumatra dan Semenanjung Malaya selama 20 tahun ke depan. Meskipun invasi Chola akhirnya berhasil, itu serius melemahkan hegemoni Srivijayan dan memungkinkan pembentukan daerah berbasis kerajaan, seperti Kediri, pada pertanian intensif daripada pesisir dan perdagangan jarak jauh.

Antara 1079 dan 1088, catatan Cina menunjukkan bahwa Sriwijaya mengirimkan duta dari Jambi dan Palembang. Dalam 1079 khususnya, duta besar dari Jambi dan Palembang masing-masing mengunjungi Cina. Jambi mengirim dua duta lebih ke China pada 1082 dan 1088. Hal ini menunjukkan bahwa pusat Sriwijaya sering bergeser antara dua kota besar selama periode itu. Ekspedisi Chola serta mengubah rute perdagangan melemah Palembang, Jambi yang memungkinkan untuk mengambil kepemimpinan Sriwijaya dari abad ke-11 di.

Menurut sumber Cina di kitab Chu-fan-chi ditulis sekitar 1225, Chou Ju-kua menggambarkan bahwa di Asia Tenggara kepulauan ada dua kerajaan yang paling kuat dan kaya; Sriwijaya dan Jawa (Kediri). Di Jawa dia mendirikan bahwa orang-orang mematuhi dua jenis agama: Buddhisme dan agama-agama Brahmana (Hindu), sementara orang-orang Sriwijaya mematuhi Buddhisme. Orang-orang Jawa berani dan pendek marah, berani untuk menempatkan berkelahi. Hiburan favorit mereka adalah adu ayam dan babi pertempuran. Mata uang dibuat dari campuran tembaga, perak, dan timah.

Kitab Chu-fan-chi disebutkan bahwa Java diperintah oleh Maharaja, bahwa aturan-aturan beberapa koloni: Pai-hua-yuan (Pacitan), Ma-tung (Medang), Ta-pena (Tumapel, sekarang Malang), Hi- perencanaan (Dieng), Jung-ya-lu (Hujung Galuh, sekarang Surabaya), Tung-ki (Jenggi, Papua Barat), Ta-kang (Sumba), Huang-ma-chu (Southwest Papua), Ma-li (Bali ), Kulun (Gurun, diidentifikasi sebagai gorong atau Sorong di Papua Barat atau pulau di Nusa Tenggara), Tan-jung-wu-lo (Tanjungpura di Kalimantan), Ti-wu (Timor), Pingya-i (Banggai di Sulawesi) , dan Wu-nu-ku (Maluku).

Tentang Sriwijaya, Chou-Ju-Kua melaporkan bahwa Sriwijaya memiliki 15 koloni dan masih negara terkuat dan terkaya di bagian barat nusantara. Koloni Sriwijaya adalah: Pong-fong (Pahang), Tong-ya-nong (Terengganu), Ling-ya-si-kia (Langkasuka), Kilan-tan (Kelantan), Fo-lo-an (Dungun, bagian timur Melayu Semenanjung, sebuah kota dalam keadaan Terengganu), Ji-lo-t'ing (Cherating), Ts'ien-mai (Semawe, Semenanjung Melayu), Pa-t'a (Sungai Paka, terletak di Terengganu dari Semenanjung Malaya), Tan-ma-ling (Tambralinga, Ligor atau Nakhon Si Thammarat, Thailand Selatan), Kia-lo-hi (Grahi, (Krabi) bagian utara semenanjung Melayu), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-t'o (Sunda), Lan-wu-li (Lamuri di Aceh), Kien-pi (Jambi) dan Si-lan (Kamboja).

Menurut sumber di awal abad 13 Sriwijaya masih dikuasai Sumatera, Semenanjung Melayu, dan Jawa Barat (Sunda). Tentang Sunda, buku ini menjelaskan lebih lanjut bahwa pelabuhan Sunda (Sunda Kelapa) adalah lada benar-benar baik dan strategis, dari Sunda adalah salah satu kualitas terbaik. Orang bekerja pada sektor pertanian dan rumah mereka yang membangun di atas tumpukan kayu (rumah panggung). Namun negara itu diinvestasikan oleh perampok dan pencuri. Singkatnya, sumber Cina dari abad ke-13 awal menyarankan bahwa kepulauan Indonesia dikuasai oleh dua kerajaan besar, bagian barat berada di bawah kekuasaan Sriwijaya, sedangkan bagian timur berada di bawah dominasi Kediri.

Pada 1288, Singasari, penerus Kediri di Jawa, Melayu menaklukkan negara mencakup Palembang, Jambi serta banyak Sriwijaya selama ekspedisi Pamalayu.

Pada tahun 1293, Majapahit menguasai sebagian besar Sumatera sebagai penerus Singhasari. Pangeran Adityawarman diberi tanggung jawab atas Sumatera pada tahun 1347 oleh Tribhuwana Wijayatunggadewi, raja ketiga Majapahit. Pemberontakan pada tahun 1377 itu tergencet oleh Majapahit tetapi meninggalkan daerah selatan Sumatera kekacauan dan kehancuran.

Dalam tahun-tahun berikutnya, sedimentasi di muara sungai Musi dipotong ibukota kerajaan off dari akses laut langsung. Kerugian strategis melumpuhkan perdagangan di ibukota Kerajaan. Seperti penurunan terus, Islam membuat jalan ke wilayah Aceh Sumatera, menyebar melalui kontak dengan pedagang Arab dan India. Pada akhir abad ke-13, kerajaan Pasai di Sumatera bagian utara masuk Islam. Pada saat yang sama, Sriwijaya sempat keadaan upeti dari kerajaan Khmer dan kemudian kerajaan Sukhothai. Prasasti terakhir, di mana seorang pangeran mahkota, Ananggavarman, putra Adityawarman, disebutkan, tanggal dari 1374.

Beberapa upaya untuk menghidupkan kembali Sriwijaya dibuat oleh para pangeran melarikan diri dari Sriwijaya. Pada 1324, seorang pangeran Sriwijaya asal, Sri Maharaja Sang Batara Sri Parameswara Utama Tribuwana (Sang Nila Utama) mendirikan Singapura kuno (Temasek). Dia mempertahankan kontrol atas Temasek selama 48 tahun. Dikukuhkan sebagai penguasa atas Temasek oleh seorang utusan dari Kaisar Cina ca 1366. Ia digantikan oleh putranya Sri Paduka Diraja Pekerma Wira (1372-1386) dan cucunya, Paduka Seri Rana Wira Kerma (1386-1399). Pada 1401, cucu yang besar, Paduka Sri Maharaja Parameswara diusir dari Temasek oleh invasi Majapahit. Dia kemudian menuju ke utara dan mendirikan Kesultanan Malaka tahun 1402. Kesultanan Malaka berhasil Sriwijaya Empire sebagai sebuah entitas politik Melayu Nusantara.

Warisan

Pagoda dalam gaya Sriwijaya di Chaiya, Thailand

Meskipun Sriwijaya meninggalkan beberapa peninggalan arkeologis dan hampir terlupakan dalam memori kolektif orang Melayu, penemuan kembali imperium maritim kuno oleh Coedès kembali pada tahun 1920 mendorong gagasan bahwa adalah mungkin di masa lalu untuk sebuah entitas politik yang luas untuk berkembang di Asia Tenggara.

Warisan paling penting dari kerajaan Srivijayan mungkin bahasa mereka. Selama berabad-abad, Sriwijaya melalui ekspansi mereka, kekuatan ekonomi dan kekuatan militer yang bertanggung jawab atas luas bahasa Melayu Kuno di seluruh kepulauan Melayu-Indonesia. Ini adalah bahasa kerja pedagang, digunakan dalam berbagai pelabuhan dan pasar di wilayah tersebut. Bahasa Srivijayan mungkin telah membuka jalan bagi keunggulan Melayu hari ini dan bahasa Indonesia, menjadi bahasa resmi Malaysia, Brunei dan Singapura dan sebagai bahasa pemersatu Indonesia modern.

Menurut Annals Melayu, Parameswara pendiri Kesultanan Malaka mengaku menjadi anggota dari garis keturunan Sriwijaya Palembang. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-15 prestise Sriwijaya masih tetap dan digunakan sebagai sumber legitimasi politik di wilayah tersebut.

Kostum disepuh Gending Sriwijaya Sumatera Selatan tarian dipanggil kemegahan kerajaan Sriwijaya.

Nasionalis Indonesia modern juga dipanggil Sriwijaya bersama dengan Majapahit, sebagai sumber kebanggaan kebesaran masa lalu di Indonesia. Sriwijaya telah menjadi fokus dari kebanggaan nasional dan identitas regional, terutama bagi masyarakat Palembang, Sumatera Selatan provinsi, dan orang-orang Melayu secara keseluruhan. Bagi masyarakat Palembang, Sriwijaya juga menjadi sumber inspirasi artistik untuk lagu Gending Sriwijaya dan tari tradisional.

Situasi yang sama juga terjadi di Thailand selatan, di mana Sevichai (Thailand: Sriwijaya) tari diciptakan kembali sesuai dengan seni dan budaya Sriwijaya kuno. Hari ini warisan Srivijayan juga dirayakan dan diidentifikasi dengan minoritas Melayu Thailand Selatan. Di Thailand, seni Srivijayan dikaitkan dengan seni dan arsitektur Jawa, mungkin menunjukkan pengaruh Sailendra atas Jawa, Sumatera dan Semenanjung. Contoh candi gaya Srivijayan adalah Phra Borom Mathat di Chaiya dibangun dalam gaya Jawa yang terbuat dari batu bata dan mortir (sekitar 9 - abad ke-10), Wat Kaew Pagoda di Chaiya, juga dari bentuk Jawa dan Wat Panjang Pagoda. Para Mahathat Wat asli di Nakhon Si Thammarat (sebuah kota Srivijayan) kemudian dibungkus oleh sebuah bangunan bergaya Sri Lanka yang lebih besar.

Di Indonesia, Sriwijaya adalah nama jalan di banyak kota dan telah menjadi identik dengan Palembang dan Sumatera Selatan. Universitas Sriwijaya, didirikan pada tahun 1960 di Palembang, dinamai setelah Sriwijaya. Kodam Sriwijaya (unit komando militer daerah), PT Pupuk Sriwijaya (sebuah perusahaan pupuk), Sriwijaya Post (sebuah surat kabar yang berbasis Palembang), Sriwijaya Air (maskapai penerbangan), Gelora Sriwijaya Stadium, dan Sriwijaya FC (Palembang klub sepak bola) juga semua nama untuk menghormati kerajaan maritim kuno. Pada 11 November 2011 selama upacara pembukaan Asian Games 2011 di Gelora Sriwijaya Tenggara Stadium, Palembang, pertunjukan tari kolosal berjudul "Semenanjung Emas Sriwijaya" dilakukan menampilkan tarian tradisional Palembang dan juga merupakan replika ukuran sebenarnya dari kapal kuno untuk menggambarkan kemuliaan ini kerajaan maritim.


http://en.goldenmap.com/Srivijaya#

Rabu, 16 November 2011

Lontar Negarakretagama

Kakawin Nagarakretagama

Kakawin Nagarakretagama atau juga disebut dengan nama kakawin Desawarnana atau juga disebut dengan nama kakawin Desawarnana bisa dikatakan merupakan Kakawin Jawa Kuna yang paling termasyhur. Kakawin ini adalah yang paling banyak diteliti pula. Kakawin yang ditulis tahun 1365 ini, pertama kali ditemukan kembali pada tahun 1894 oleh J.LA Brandes, seorang ilmuwan Belanda yang mengiringi ekspedisi knil di Lombok. Ia menyelamatkan isi perpustakaan Raja Lombok di Cakranagara sebelum istana sang raja akan dibakar oleh tentara KNIL.

Kakawin ini menguraikan keadaan di Kraton Majapahit dalam masa pemerintahan prabu Hayam Wuruk, raja agung di tanah Jawa dan juga Nusantara. Beliau bertakhta dari tahun 1350 sampai 1389 Masehi, pada masa puncak kerajaan Majapahit, kerajaan terbesar yang pernah ada di Nusantara.

Negarakertagama diperkenalkan dalam bahasa Inggris lewat Java in the 14th century, antara 1960-1963, oleh Pigeaud. Dipopulerkan lewat kalangwan, juga dalam bahasa Inggris, oleh Zoetmulder, pada 1974, sebagai salah satu naskah sastra Jawa Kuno yang dikumpulkan disana. dan baru pada 1979 untuk pertama kalinya Nagarakertagama bisa dibaca dalam bahasa Indonesia lewat terjemahan Slamet Mulyana.

Naskah Nagara Kretagama ditemukan sebanyak 5 (lima) naskah. Pada 7 Juli 1978 di kota Antapura, Kabupaten Lombok, pulau Bali ditemukan 1 (satu) naskah dengan judul Desawarnana, tersimpan di Geria Pidada, Karang Asem. Pada tahun 1874 di Puri Cakranegara, pulau Lombok di temukan 1 (satu) naskah dengan judul Nagara Kretagama. Selanjutnya, tidak diketahui angka tahun penemuannya, di Geria Pidada, Klungkung ditemukan turunan rontal Nagara Kretagama 1 (satu) naskah dan di Geria Carik Sideman ditemukan 2 (dua) naskah turunan Nagara Kretagama juga. Nagara Kretagama berisi uraian tentang hubungan keluarga raja, para pembesar negara, jalannya pemerintahan, adat istiadat, candi makam para leluhur. Dan desa-desa perdikan, keadaan ibu kota, keadaan desa-desa sepanjang jalan keliling Sang Prabu pada 1359 masehi.

Peran Nagarakretagama sebagai sumber sejarah kuno Indonesia relatif besar meski ada yang berpendapat Nagarakretagama dipengaruhi unsur subyektif dalam rangka menyenangkan penguasa saat itu. Nagarakretagama memiliki nama lain, yakni Desawarnana atau Uraian tentang Desa-desa, seperti tercantum dalam pupuh 94. Ini karena Raja Hayam Wuruk sering turun ke bawah untuk menghormati nenek moyangnya dan masyarakatnya.


Nagarakretagama merupakan sebuah "karya jurnalistik" terbaik, sementara Mpu Prapanca dikatakan "wartawan" tersohor dari Kerajaan Majapahit. Namun, banyak hal yang masih terabaikan hingga kini, misalnya penelitian terhadap candi-candi dan desa-desa yang disebutkan dalam kitab itu. Mpu Prapanca sendiri dipandang sebagai pelopor arkeologi Indonesia dan pendahulu historic archaeology (arkeologi sejarah). Ini karena Prapanca membuat semacam inventarisasi dan deskripsi mengenai berbagai jenis peninggalan purbakala yang ada pada zamannya. Prapanca telah melakukan field survey (survei lapangan), suatu hal yang menguntungkan dunia ilmu pengetahuan

Menurut Budya Pradipta dalam makalah ”Bedah Naskah Nagarakretagama yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional RI pada 2005, wilayah Majapahit dikelompokkan menjadi lima golongan, yaitu

Jawa meliputi Nagara Majapahit, Jiwana, Singasari, Wengker, Lasem, Daha, Pajang, Matahun, Paguhan, Wirabhumi, Mataram, Pawwanawwan, dan Kebalan.

Digantara artinya wilayah lain yaitu daerah yang takluk kepada raja Rajasanagara selain Jawa. Daerah tersebut adalah Pahang, Melayu, Gurun, dan bakulapura.

Nusantara adalah pulau-pulau lain, yang termasuk Nusantara adalah Daerah melayu, daerah Tanjung Nagara, dan daerah Semenanjung Malaya. Desantara adalah segala penjuru, seluruh angkasa, daerah lain, dan negara lain,

Desantara adalah Syangka, Ayodyapura, Dharmanagari, marutama, Rajapura, Anghanagari, Campa, Kamboja.

Dwipantara adalah kepulauan lain, yang termasuk dwipantara dan mitra adalah Yawana, Cina, Karnataka, dan Goda.
Di balik kontroversi ini ada hal menarik: Sunda dan Madura tidaklah disebut sebagai wilayah kerajaan, padahal teks ini menyebut banyak sekali daerah dari ujung utara pulau Sumatra, Brunei sampai Papua (dalam teks disebut Wwanin = Onin).

Penulisnya mengakui Nagarakretagama bukan buku pertama yang ditulisnya. Sebelumnya Prapanca telah menulis Parwasagara, Bhismasaranantya, Sugataparwa, dan dua kitab lagi yang belum selesai, yaitu Saba Abda dan Lambang. Namun semua ini sampai sekarang belum ditemukan atau memang sudah hancur.


Nagarakretagama artinya adalah "Negara dengan Tradisi (Agama) yang suci. Tetapi pengarangnya juga menyebutnya Deśawarṇana, yang berarti "Penulisan tentang Daerah-Daerah". Nagarakretagama digubah oleh mpu Prapanca pada tahun 1365 Masehi (tahun 1287 Saka di desa Kamalasana di lereng Gunung. Sewaktu menulis Nagarakretagama, Prapañca masih belum bergelar mpu karena masih seorang calon pujangga. Ayahnya bernama mpu Nadendra dan memegang jabatan: Dharmâdhyaksa ring Kasogatan, atau Ketua dalam urusan agama Budha.


Nagarakrtagama terdiri dari 98 pupuh. Naskah ini dimulai dengan pemujaan terhadap raja Wilwatikta yakni raja Majapahit dijaman raja Hayam Wuruk yang disebutkan sebagai Siwa-Budha yaitu Rajasanagara. Tujuh pupuh berikutnya berisi tentang raja dan keluarganya, sembilan pupuh kemudian tentang istana dan kota Majapahit. Dari sinilah sejarawan dan arkeolog merekonstruksi sejarah Majapahit. Bagian paling panjang merupakan catatan perjalanan Hayam Wuruk ke Lumajang (23 pupuh) yang dilakukan pada bulan Agustus sampai September 1359.


Sepuluh pupuh diantaranya menceritakan silsilah singkat raja-raja Singasari dan Majapahit (wangsa Girindra). Maklum Singasari dan Majapahit merupakan dua kerajaan yang tidak dapat dipisahkan. Bagian berikutnya menceritakan perburuan raja (10 pupuh), kisah Gadjah Mada (23 pupuh), dan upacara sraddha bagi ibunda raja (9 pupuh). Dan tujuh pupuh terakhir menceritakan diri Prapanca sendiri.


Teks ini semula dikira hanya terwariskan dalam sebuah naskah tunggal yang diselamatkan oleh J.LA Brandes, seorang ahli Sastra Jawa Belanda, yang ikut menyerbu Istana Raja Lombok pada tahun 1894. Ketika penyerbuan ini dilaksanakan, para tentara KNIL membakar istana dan Brandes menyelamatkan isi perpustakaan raja yang berisikan ratusan naskah lontar. Salah satunya adalah lontar Nagakretagama ini. Semua naskah dari Lombok ini dikenal dengan nama lontar-lontar Koleksi Lombok yang sangat termasyhur. Koleksi Lombok disimpan di perpustakaan Universitas Laiden Belanda.


Naskah Nagarakretagama disimpan di Leiden dan diberi nomor kode L Or 5.023. Lalu dengan kunjungan Ratu Juliana, Belanda ke Indonesia pada tahun 1973, naskah ini diserahkan kepada Republik Indonesia. Konon naskah ini langsung disimpan oleh Ibu Tien Soeharto di rumahnya, namun ini tidak benar. Naskah disimpan di Perpustakaan Nasional RI dan diberi Kode NB 9.


PENGARANGNYA


Mpu Prapañca adalah seorang bujangga sastra Jawa yang hidup pada abad ke-14 pada zaman Majapahit dan kemungkinan selain bujangga juga merupakan mpu yang paling ternama. Namanya dikenal oleh semua orang di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Prapañca merupakan penulis Kakawin Nagarakretagama yang termasyhur tersebut.


Diperlukan waktu 614 tahun bagi turunan orang-orang Majapahit, untuk tidak hanya mendapat gambaran tentang kehidupan di dalam istana, dimana biasanya para pujangga bercokol di menara gadingnya, melainkan sebuah desawarnana(deskripsi mengenai desa-desa). Prapanca tidak mendapatkan kebenaran itu dengan gratis, ia harus memisahkan diri dari rombongan Hayam Wuruk, dalam perjalanan keliling tahun 1359, untuk melihat kenyataan lain, yang tidak semua penulis masa itu berani melakukan, apalagi menuliskannya.


Nagarakertagama, satu-satunya sumber tiada tara tentang keberadaan Majapahit, hanya bisa dilahirkan oleh sebuah visi yang berani melawan kemapanan, bukan hanya dalam penulisan sastra, tapi juga kemapanan politik. Dalam analisisnya Slamet Mulyana mengungkapkan, meski naskah itu merupakan sebuah pujasastra kepada Dyah Hayam Wuruk Sri Rajasanagara, namun paham politik Prapanca sebenarnya tidak sejajar dengan Gajah Mada, yang telah menjadi pedoman semenjak pemerintahan Tribuwana Tunggadewi.


Penciptaan karya sastra ini sebagai tanda bakti kepada Prabu Hayam Wuruk walaupun dalam menulis kitab Nagarakretagama Empu Prapanca sudah tidak tinggal lagi didalam keraton Majapahit. Empu Prapanca tidak lagi menjabat sebagai Dharmmadyaksa Kasagotan (Pembesar urusan agama Buddha) tetapi hidup di desa Kamalasana di lereng gunung sebagai pertapa. Empu Prapanca meninggalkan keraton Majapahit karena mendapat hinaan berupa celaan terhadap sikap Empu Prapanca oleh Sri Baginda yang menyebabkan kedudukannya tergeser sebagai Dharmmadyaksa Kasagotan.


Prabu Hayam Wuruk percaya kepada fitnah seorang bangsawan terhadap dirinya. Namun demikian empu Prapanca sama sekali tidak menaruh dendam terhadap sang Prabu bahkan memuja keagungan Prabu Hayam Wuruk. Konon ketika Raja Lasem berkuasa di Lombok naskah itu dibawa dari Bali ke Lombok. Atas dasar tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Emu Prapanca setelah meninggalkan Majapahit menetap di desa Karangasem Bali.


Desa kamalasana tempat Empu Prapanca bertapa adalah nama sansekerta dari nama asli Karangasem. Pada pertengahan tahun 1978 di desa Karangasem Bali ditemukan naskah Dcsawarnnana yaitu karya sastra karangan Empu Prapanca yang sekarang disimpan di Griya Pidada Karangasem Bali.


Tiga naskah lagi yang menyebutkan Kitab Nagarakretagama ditemukan di Griya Pidada Kelungkung, dan Griya Carik Sidemen. Naskah ini ini sama dengan Kitab Nagarakretagama yang ditemukan di Puri Cakranegara Lombok. Decawarnnana yang menguraikan tentang desa desa yang dikunjunginya dalam perjalanan mengiringi Prabu Hayam Wuruk kemudian Saka Abda, Lambang, Parwa Sagara, Bhismasaranantya dan Sagataparwa.


Dari pupuh 17/8 diketahui bahwa Empu Prapanca adalah keturunan seorang Dharmadyaksa (Pemimpin kegamaan) pada jaman pemerintahan Prabu Hayam Wuruk. Empu Prapanca menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Dharmadyaksa (pemimpin agama Buddha) tahun 1358 sampai tahun 1361 masehi. Sejak kecil Empu Prapanca suka menghadap Raja dengan maksud agar Raja mengijinkannya untuk mengikuti perjalanan beliau kemana saja karena keinginannya untuk merangkai sejarah wilayah Negara dalam kekawin.


Nama Prapanca adalah nama samaran. Prapanca terdiri dari unsur Pra dan Panca yang artinya pra lima yaitu Prapanca, Pracacab, Prapongpong, Pracacad dan pracongcong yaitu cacad badaniah pengarangnya yaitu jika tertawa terbahak bahak, pipinya sembab, matanya mengeluyu seperti orang ngantuk, cakapnya agak ganjil alias lucu.Nama prapañca kemungkinan merupakan nama pena dan artinya adalah "bingung.


Nama aslinya Rangkwi Padelengan Dang Acarya Nadendra yang menjabat sebagai Dharmadyaksa Kasogatan pada pemerintahan Prabu Hayam wuruk seperti tercantum dalam Piagam Trawulan dan Piagam sekar. Penggunaan nama samaran Prapanca yang berarti kesedihan dipakai karena pada waktu menulis Nagarakretagama pengarangnya hidupnya sedang diliputi oleh kesedihan karena kehilangan kedudukan sebagai Dharmmadyaksa Kasogatan dan pergi meninggalkan Majapahit untuk hidup di desa dalam kesepian. Ia takut dikenal orang karena ciri-cirinya sehingga sehingga menggunakan nama samaran.


Kitab Nagarakretagama yang ditulisnya pada tahun saka 1287 (September-Oktober 1365) menguraikan tentang perjalanan keliling Prabu hayam Wuruk ke lumajang pada tahun saka 1281 atau 1359 Masehi dimana Empu Prapanca ikut serta dalam rombongan tersebut sebagai Dharmmadyaksa Kasagotan.



ISI KAKAWIN NAGARAKRETAGAMA


PUPUH I

Om ! Sembah pujiku orang hina ke bawah telapak kaki Pelindung jagat Siwa-Buda Janma-Batara senantiasa tenang tenggelam dalam Samadi Sang Sri Prawatanata, pelindung para miskin, raja adiraja dunia Dewa-Batara, lebih khayal dari yang khayal, tapi tampak di atas tanah.
Merata serta meresapi segala mahluk, nirguna bagi kaum Wisnawa, Iswara bagi Yogi, Purusa bagi Kapila, hartawan bagai Jambala, Wagindra dalam segala ilmu, dewa Asmara di dalam cinta birahi, Dewa Yama di dalam menghilangkan penghalang dan menjamin dunia.
Begitulah pujian pujangga penggubah sejarah raja, Kepada Sri Nata Rajasanagara, Sri Nata Milwatikta yang sedang memegang tampuk negara, bagai titisan Dewa-Batara beliau menyapu duka rakyat semua, tunduk setia segenap bumi Jawa, bahkan malah seluruh Nusantara.
Tahun Saka masa memanah surya (1256) beliau lahir untuk jadi narpati, selama dalam kandungan di Kahuripan, telah tampak tanda keluhuran, gempa bumi, kepul asap, hujan abu, guruh halilintar menyambar-nyambar, Gunung Kampud gemuruh membunuh durjana, penjahat musnah dari negara.
Itulah tanda bahwa Batara Girinata menjelma bagai raja besar, terbukti, selama bertahta, seluruh tanah Jawa tunduk menadah p'rintah, wipra, satria, waisya, sudra, keempat kasta sempurna dalam pengabdian, durjana berhenti berbuat jahat, takut akan keberanian Sri Nata.


Pupuh II

Sang Sri Rajapatni yang ternama adalah nenekanda Sri Baginda, seperti titisan Parama Bagawati memayungi jagat raya, selaku wikuni tua tekun berlatih yoga menyembah Buda, tahun Saka dresti saptaruna (1272) kembali beliau ke Budaloka.
Ketika Sri Rajapatni pulang ke Jinapada, dunia berkabung, kembali gembira bersembah bakti semenjak Baginda mendaki tahta, girang ibunda Tribuwana Wijayatunggadewi mengemban tahta, bagai rani di Jiwana resmi mewakili Sri Narendra-putera.

Pupuh III

Beliau bersembah bakti kepada ibunda Sri Rajapatni, setia mengikuti ajaran Buda, menyekar yang telah mangkat, ayahanda Baginda Raja yalah Sri Kertawardana-raja, keduanya teguh beriman Buda demi perdamaian praja.
Ayahnya Sri Baginda-raja bersemayam di Singasari, bagai Ratnasambawa menambah kesejahteraan bersama, teguh tawakal memajukan kemakmuran rakyat dan negara, mahir mengemudikan perdata, bijak dalam segala kerja.


Pupuh IV

Puteri Rajadewi Maharajasa, ternama rupawan, bertahta di Daha, cantik tak bertara, bersandar nam guna, adalah bibi Baginda, adik maharani di Jiwana, Rani Daha dan Rani Jiwana bagai bidadari kembar.
Laki sang rani Sri Wijayarajasa dari negeri Wengker, rupawan bagai titisan Upendra, mashur bagai sarjana, setara raja Singasari, sama teguh di dalam agama, sangat mashurlah nama beliau di seluruh tanah Jawa.


Pupuh V

Adinda Baginda raja di Wilwatikta, puteri jelita bersemayam di Lasem, puteri jelita Daha, cantik ternama, Indudewi puteri Wijayarajasa.
Dan lagi puteri bungsu Kertawardana, bertahta di Pajang, cantik tidak bertara, puteri Sri Narapati Jiwana yang mashur, terkenal sebagai adinda Sri Baginda.


Pupuh VI

Telah dinobatkan sebagai raja tepat menurut rencana, laki tangkas Rani Lasem bagai raja daerah Matahun, bergelar Rajasawardana sangat bagus lagi putus dalam naya, Raja dan Rani terpuji laksana Asmara dengan Pinggala.
Sri Singawardana, rupawan, bagus, muda, sopan dan perwira, bergelar raja Paguhan, beliaulah suami Rani Pajang, mulia perkawinannya laksana Sanatkumara dan Dewi Ida, bakti kepada raja, cinta sesama, membuat puas rakyat.
Bhre Lasem menurunkan puteri jelita Nagarawardani, bersemayam sebagai permaisuri pangeran Wirabumi, Rani Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardana, bagaikan titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra.
Puteri bungsu Rani Pajang mem'rintah daerah Pawanuhan, berjuluk Surawardani masih muda indah laksana gambar, para raja pulau Jawa masing-masing mempunyai negara, dan Wilwatikta tempat mereka bersama menghamba Sri Nata.


Pupuh VII

Melambung kidung merdu pujian sang Prabu, beliau membunuh musuh-musuh, bagai matahari menghembus kabut, menghimpun negara di dalam kuasa, girang janma utama bagai bunga tunjung, musnah durjana bagai kumuda, dari semua desa di wilayah negara pajak mengalir bagai air.
Raja menghapus duka si murba sebagai Satamanyu menghujani bumi, menghukum penjahat bagai Dewa Yana, menimbun harta bagaikan Waruna, para telik masuk menembus segala tempat laksana Hyang Batara Bayu, menjaga Pura sebagai Dewi Pertiwi, rupanya bagus seperti bulan.
Seolah-olah Sang Hyang Kama menjelma, tertarik oleh keindahan Pura, semua para puteri dan istri sibiran dahi Sri Ratih, namun Sang Permaisuri keturunan Wijayarajasa tetap paling cantik, paling jelita bagaikan susumna, memang pantas jadi imbangan Baginda.
Berputeralah beliau puteri mahkota Kusumawardhani, sangat cantik, sangat rupawan jelita mata, lengkung lampai, bersemayam di Kabalan, sang menantu Sri Wikramawardhana memegang perdata seluruh negara, sebagai dewa-dewi mereka bertemu tangan, menggirangkan pandang.


Pupuh VIII

Tersebut keajaiban kota : tembok batu merah, tebal tinggi, mengitari Pura, pintu Barat bernama Pura Waktra, menghadap ke lapangan luas, bersabuk parit, pohon brahmastana berkaki bodi, berjajar panjang, rapi berbentuk aneka ragam, di situlah tempat tunggu para tanda terus menerus meronda, jaga paseban.
Di sebelah Utara bertegak gapura permai dengan pintu besi penuh berukir, di sebelah Timur : panggung luhur, lantainya berlapis batu, putih-putih mengkilat, di bagian Utara, di Selatan pekan, rumah berjejal jauh memanjang, sangat indah, di Selatan jalan perempat : balai prajurit tempat pertemuan tiap Caitra.
Balai agung Manguntur dengan balai Witana di tengah, menghadap padang watangan yang meluas ke empat arah; bagian Utara paseban pujangga dan menteri, bagian Timur paseban pendeta Siwa-Buda, yang bertugas membahas upacara pada masa grehana bulan Palguna demi keselamatan seluruh dunia.
Di sebelah Timur pahoman berkelompok tiga-tiga mengitari kuil Siwa, di sebelah tempat tinggal wipra utama, tinggi bertingkat, menghadap panggung korban, bertegak di halaman sebelah Barat ; di Utara tempat Buda bersusun tiga, puncaknya penuh berukir, berhamburan bunga waktu raja turun berkorban.
Di dalam, sebelah Selatan Manguntur tersekat pintu, itulah paseban, rumah bagus berjajar mengapit jalan ke Barat, di sela tanjung berbunga lebat, agak jauh di sebelah Barat Daya : panggung tempat berkeliaran para perwira, tepat di tengah-tengah halaman bertegak mandapa penuh burung ramai berkicau.
Di dalam, di Selatan ada lagi paseban memanjang ke pintu keluar Pura yang kedua, dibuat bertingkat tangga, tersekat-sekat, masing-masing berpintu sendiri, semua balai bertulang kuat bertiang kokoh, papan rusuknya tiada tercela, para prajurit silih berganti, bergilir menjaga pintu, sambil bertukar tutur.


Pupuh IX

Inilah para penghadap : pengalasan Ngaran, jumlahnya tak terbilang, Nyu Gading Janggala-Kediri, Panglarang, Rajadewi tanpa upama, Waisangka kapanewon Sinelir, para perwira Jayengprang Jayagung dan utusan Pareyok Kayu Apu, orang Gajahan dan banyak lagi.
Begini keindahan lapang watangan, luas bagaikan tak berbatas, menteri, bangsawan, pembantu raja di Jawa, di deret paling muka, Bhayangkari tingkat tinggi berjejal menyusul di deret yang kedua, di sebelah Utara pintu istana, di Selatan satria dan pujangga.
Di bagian Barat, beberapa balai memanjang sampai mercudesa, penuh sesak pegawai dan pembantu serta para perwira penjaga ; di bagian Selatan agak jauh : beberapa ruang, mandapa dan balai tempat tinggal abdi Sri Narapati di Paguhan, bertugas menghadap.
Masuk pintu ke dua, terbentang halaman istana berseri-seri, rata dan luas, dengan rumah indah berisi kursi-kursi berhias ; di sebelah Timur menjulang rumah tinggi berhias lambang kerajaan, itulah balai tempat terima tatamu Sri Nata di Wilwatikta.


Pupuh X

Inilah pembesar yang sering menghadap di balai Witana, Wredamentri, tanda menteri pasangguhan dengan pengiring, Sang Panca Wilwatikta : mapatih, demung, kanuruhan, rangga, Tumenggung, lima priyayi agung yang akrab dengan istana.
Semua patih, demung negara bawahan dan pengalasan, semua pembesar daerah yang berhati tetap dan teguh, jika datang berkumpul di kepatihan seluruh negara., lima menteri utama yang mengawal urusan negara.
Satria, pendeta, pujangga, para wipra, jika menghadap berdiri di bawah lindungan asoka di sisi witana, begitu juga dua dharmadyaksa dan tujuh pembantunya, bergelar arya, tangkas tingkahnya, pantas menjadi teladan.


Pupuh XI

Itulah penghadap balai witana, tempat takhta yang terhias serba bergas, pantangan masuk ke dalam Istana Timur, agak jauh dari pintu pertama, ke Istana Selatan tempat Singawardana, permaisuri, putra dan putrinya, ke Istana Utara tempat Kertawardana ; ketiganya bagai kahyangan.
Semua rumah bertiang kuat, berukir indah, dibuat berwarna-warni, kakinya dari batumerah pating berunjul, bergambar aneka lukisan, genting atapnya bersemarak serba meresap pandang menarik perhatian, bunga tanjung, kesara, cempaka dan lain-lainnya terpencar di halaman.


Pupuh XII

Teratur rapi semua perumahan sepanjang tepi benteng, Timur tempat tinggal pemuka pendeta Siwa Hyang Brahmaraja, Selatan Buda-sangga dengan Rangkanadi sebagai pemuka, Barat tempat Arya, menteri dan sanak kadang adiraja.
Di Timur tersekat lapangan, menjulang istana ajaib, Raja Wengker dan Rani Daha penaka Indra dan Dewi Saci, berdekatan dengan istana raja Matahun dan rani Lasem, tak jauh di sebelah Selatan Raja Wilwatikta.
Di sebelah Utara pasar, rumah besar bagus lagi tinggi, di situ menetap patih Daha, adinda Baginda di Wengker Bhatara Narapati, termashur sebagai tulang punggung praja, cinta taat kepada raja, perwira, sangat tangkas dan bijak.
Di Timur Laut rumah patih Wilwatikta, bernama Gajah Mada, menteri wira, bijaksana, setia bakti kepada negara, fasih bicara, teguh tangkas, tenang tegas, cerdik lagi jujur, tangan kanan maharaja sebagai penggerak roda negara.
Sebelah Selatan Puri, gedung kejaksaan tinggi bagus ; sebelah Timur perumahan Siwa, sebelah Barat Buda ; terlangkahi rumah para menteri, para arya dan satria, perbedaan ragam pelbagai rumah menambah indahnya pura.
Semua rumah memancarkan sinar warnanya gilang cemerlang, menandingi bulan dan matahari, indah tanpa upama ; negara-negara di Nusantara, dengan Daha bagai pemuka, tunduk menengadah, berlindung di bawah Wilwatikta.


Pupuh XIII

Terperinci demi pulau negara bawahan, paling dulu M'layu, Jambi, Palembang, Toba dan Darmasraya, pun ikut juga disebut daerah Kandis, Kahwas, Minangkabau, Siak, Rokan, Kampar dan Pane, Kampe, Haru serta Mandailing, Tamihang, negara Perlak dan Padang.
Lwas dengan Samudra serta Lamuri, Batan, Lampung dan juga Barus, itulah negara-negara Melayu yang t'lah tunduk, negara-negara di pulau Tanjungnegara : Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga, Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut.


Pupuh XIV

Kadandangan, Landa Samadang dan Tirem tak terlupakan, Sedu, Barune (ng), Kalka, Saludung, Solot dan juga Pasir, Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei, Malano tetap yang terpenting di pulau Tanjungpura.
Di Hujung Mendini Pahang yang disebut paling dahulu, berikut Langkasuka, Saimwang, Kelantan serta Trengganu, Johor, Paka, Muar, Dungun, Tumasik, Kelang serta Kedah, Jerai, Kanjapiniran, semua sudah lama terhimpun.
Di sebelah Timur Jawa seperti yang berikut : Bali dengan negara yang penting Badahulu dan Lo Gajah, Gurun serta Sukun, Taliwang, pulau Sapi dan Dompo, Sang Hyang Api, Bima, Seran, Hutan Kendali sekaligus.
Pulau Gurun yang biasa disebut Lombok Merah, dengan daerah makmur Sasak diperintah seluruhnya, Bantayan di wilayah Bantayan beserta kota Luwuk, sampai Udamakatraya dan pulau lain-lainnya tunduk.
Tersebut pula pulau-pulau Makasar, Buton, Banggawi, Kunir, Galian serta Salayar, Sumba, Solot, Muar, lagi pula Wanda(n), Ambon atau pulau Maluku, Wanin, Seran, Timor dan beberapa lagi pulau-pulau lain.


Pupuh VX

Inilah nama negara asing yang mempunyai hubungan, Siam dengan Ayudyapura, begitupun Darmanagari, Marutma, Rajapura, begitu juga Singanagari, Campa, Kamboja dan Yawana yalah negara sahabat.
Tentang pulau Madura, tidak dipandang negara asing, karena sejak dahulu dengan Jawa menjadi satu, konon tahun Saka lautan menantang bumi, itu saat Jawa dan Madura terpisah meskipun tidak sangat jauh.
Semenjak Nusantara menadah perintah Sri Baginda, tiap musim tertentu mempersembahkan pajak upeti, terdorong keinginan akan menambah kebahagiaan, pujangga dan pegawai diperintah menarik upeti.


Pupuh XVI

Pujangga-pujangga yang lama berkunjung di nusantara, dilarang mengabaikan urusan negara, mengejar untung ; seyogyanya jika mengemban perintah ke mana juga menegakkan agama Siwa, menolak ajaran sesat.
Konon kabarnya para pendeta penganut Sang Sugata, dalam perjalanan mengemban perintah Baginda Nata, dilarang menginjak tanah sebelah Barat pulau Jawa, karena penghuninya bukan penganut ajaran Buda.
Tanah sebelah Timur Jawa terutama Gurun, Bali, boleh dijelajah tanpa ada yang dikecualikan, bahkan menurut kabaran mahamuni Empu Barada serta raja pendeta Kuturan telah bersumpah teguh.
Para pendeta yang mendapat perintah untuk bekerja, dikirim ke Timur ke Barat, dimana mereka sempat melakukan persajian seperti perintah Sri Nata ; resap terpandang mata jika mereka sedang mengajar.
Semua negara yang tunduk setia menganut perintah, dijaga dan dilindungi Sri Nata dari pulau Jawa ; tapi yang membangkang, melanggar perintah, dibinasakan pimpinan angkatan laut, yang telah mashur lagi berjasa.


Pupuh XVII

Telah tegak kuasa Sri Nata di Jawa dan wilayah nusantara, di Sripalatikta tempat beliau bersemayam menggerakkan roda dunia, tersebar luas nama beliau, semua penduduk puas girang dan lega ; wipra, pujangga dan semua penguasa ikut menumpang menjadi mashur.
Sungguh besar kuasa dan jasa beliau, raja agung wilayah Janggala Kediri ;raja agung dan raja utama ; lepas dari segala duka, mengenyam hidup penuh segala kenikmatan, terpilih semua gadis manis di seluruh wilayah Janggala Kediri, berkumpul di istana bersama yang terampas dari negara tetangga.
Segenap tanah Jawa bagaikan satu kota di bawah kuasa Baginda ; ribuan orang berkunjung laksana bilangan tentara yang mengepung pura ; semua pulau laksana daerah pedusunan tempat menimbun bahan makanan ; gununga dan rimba hutan penaka taman hiburan terlintas tak berbahaya.
Tiap bulan sehabis musim hujan beliau biasa pesiar keliling, desa Sima di sebelah Selatan Jalagiri, di sebelah Timur Pura, ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara prasetyan, girang melancong mengunjungi Wewe Pikatan setempat dengan candi lima.
Atau pergilah beliau bersembah bakti ke hadapan Hyang Acalapati, biasanya terus menuju Blitar, Jimur mengunjungi gunung-gunung permai, di Daha terutama di Polaman, ke Kuwu dan Lingga hingga desa Bangin, jika sampai di Jenggala singgah di Surabaya terus menuju Buwun.
Tahun Aksatisurya (1275) sang prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring ; tahun Saka angga-naga-aryama (1276) ke Lasem, melintasi pantai samudra ; tahun Saka pintu-gunung-mendengar-indu (1279) ke laut selatan menembus hutan, lega menikmati pemandangan alam indah Lodaya, Tetu dan Sideman.
Tahun Saka seekor-naga-menelan bulan (1281) di Badrapada bulan tambah ; Sri Nata pesiar keliling seluruh negara menuju kota Lumajang, naik kereta diiring semua raja Jawa serta permaisuri dan abdi, menteri, tanda, pendeta, pujangga, semua para pembesar ikut serta.
Juga yang menyamar Prapanca girang turut mengiring paduka Maharaja ; tak tersangkal girang sang kawi, putera pujangga, juga pencinta kakawin ; dipilih Sri Baginda sebagai pembesar keBudaan mengganti sang ayah ; semua pendeta Buda umerak membicarakan tingkah lakunya dulu.
Tingkah sang kawi waktu muda menghadap raja, berkata berdamping, tak lain maksudnya mengambil hati, agar disuruh ikut beliau kemana juga ; namun belum mampu menikmati alam, membinanya, mengolah dan menggubah karya kakawin ; begitu warna desa sepanjang marga terkarang berturut.
Mula-mula melalui Japan dengan asrama dan candi-candi ruk-rebah, sebelah Timur Tebu hutan Pandawa, Daluwang, Bebala di dekat Kanci ; Ratnapangkaja serta Kuti Haji Pangkaja memanjang bersambung-sambungan ; Mandala Panjrak, Pongging serta Jingan, Kuwu Hanyar letaknya di tepi jalan.
Habis berkunjung pada candi makam Pancasara menginap di Kapulungan ; selanjutnya sang kawi bermalam di Waru, di Hering tidak jauh dari pantai, yang mengikuti ketetapan hukum jadi milik kepala asrama Saraya ; tetapi masih tetap dalam tangan lain, rindu termenung-menung menunggu.


Pupuh XVIII

Seberangkat Sri Nata dari Kapulungan berdesak abdi berarak, sepanjang jalan penuh kereta, penumpangnya duduk berimpit-impit, pedati di muka dan di belakang, di tengah prajurit berjalan kaki, berdesak-desakan, berebut jalan dengan binatang gajah dan kuda.
Tak terhingga jumlah kereta, tapi berbeda-beda tanda cirinya, meleret berkelompok-kelompok, karena tiap ment'ri lain lambangnya, rakrian sang menteri patih amangkubumi penatang kerajaan, keretanya beberapa ratus, berkelompok dengan aneka tanda.
Segala kereta Sri Nata Pajang semua bergambar matahari, semua kereta Sri Nata Lasem bergambar cemerlang banteng putih, kendaraan Sri Nata Daha bergambar Dahakusuma mas mengkilat, kereta Sri Nata Jiwana berhias bergas menarik perhatian.
Kereta Sri Nata Wilwatikta tak ternilai, bergambar buah maja, beratap kain geringsing, berhias lukisan mas, bersinar merah indah, semua pegawai, parameswari raja dan juga rani Sri Sudewi, ringkasnya para wanita berkereta merah, berjalan paling muka.
Kereta Sri Nata berhias mas dan ratna manikam paling belakang, jempana-jempana lainnya bercadar beledu, meluap gemerlap, rapat rampak prajurit pengiring Janggala Kediri, Panglarang, Sedah, bhayangkari gem'ruduk berbondong-bondong naik gajah dan kuda.
Pagi-pagi telah tiba di Pancuran Mungkur, Sri Nata ingin rehat, Sang rakawi menyidat jalan, menuju Sawungan mengunjungi akrab, larut matahari berangkat lagi tepat waktu Sri Baginda lalu, ke arah Timur menuju Watu Kiken, lalu berhenti di Matanjung.
Dukuh sepi kebudaan dekat tepi jalan, pohonnya jarang-jarang,, berbeda-beda namanya, Gelanggang, Badung, tidak jauh dari Barungbung, tak terlupakan Ermanik, dukuh teguh taat kepada Yanatraya, puas sang dharmadhyaksa mencicipi aneka jamuan makan dan minum.
Sampai di Kulur, Batang di Gangan Asem perjalanan Sri Baginda Nata, hari mulai teduh, surya terbenam, telah gelap pukul tujuh malam, baginda memberi perintah memasang tenda di tengah-tengah sawah, sudah siap habis makan, cepat-cepat mulai membagi-bagi tempat.


Pupuh XIX

Paginya berangkat lagi menuju Baya, rehat tiga hari tiga malam, dari Baya melalui Katang, Kedung Dawa, Rame, menuju Lampes Times, serta biara pendeta di Pogara mengikut jalan pasir lemak-lembut, menuju daerah Beringin Tiga di Dadap, kereta masih terus lari.
Tersebut dukuh kasogatan Madakaripura dengan pemandangan indah, tanahnya anugerah Sri Baginda kepada Gajah Mada, teratur rapi, di situlah Baginda menempati pesanggrahan yang terhias bergas, sementara mengunjungi mata air, dengan ramah melakukan mandi bakti.


Pupuh XX

Sampai di desa kasogatan Baginda dijamu makan minum, pelbagai penduduk Gapuk, Sada, Wisisaya, Isanabajra, Ganten, Poh, Capahan, Kalampitan, Lambang, Kuran, Pancar, WePeteng, yang letaknya di lingkungan biara, semua datang menghadap.
Begitu pula desa Tinggilis, Pabayeman ikut berkumpul, termasuk Ratnapangkaja di Carcan, berupa desa perdikan, itulah empat belas desa kasogatan yang berakuwu, sejak dahulu delapan saja yang menghasilkan makanan.


Pupuh XXI

Fajar menyingsing ; berangkat lagi Baginda melalui Lo Pandak, Ranu Kuning, Balerah, Bare-bare, Dawohan Kapayeman, Telpak, Baremi, Sapang serta Kasaduran Kereta berjalan cepat-cepat menuju Pawiyungan
Menuruni lurah, melintasi sawah, lari menuju Jaladipa, Talapika, Padali, Arnon dan Panggulan Langsung ke Payaman, Tepasana ke arah kota Rembang Sampai di Kemirahan yang letaknya di pantai lautan


Pupuh XXII

Di Dampar dan Patunjungan Sri Baginda bercengkerama menyisir tepi lautan Ke jurusan Timut, turut pasisir datar, lembut-limbur dilintas kereta Berhenti beliau di tepi danau penuh teratai, tunjung sedang berbunga Asyik memandang udang berenang dalam air tenang memperlihatkan dasarnya
Terlangkahi keindahan air telaga yang lambai-melambai dengan lautan Danau ditinggalkan, menuju Wedi dan Guntur tersembunyi di tepi jalan Kasogatan Bajraka termasuk wilayah Taladwija sejak dulu kala Seperti juga Patunjungan, akibat perang, belum kembali ke asrama
Terlintas tempat tersebut, ke Timur mengikut hutan sepanjang tepi lautan Berhenti di Palumbon berburu sebentar, berangkat setelah surya larut Menyeberangi sungai Rabutlawang yang kebetulan airnya sedang surut Menuruni lurah Balater menuju pantai lautan, lalu bermalam lagi
Pada waktu fajar menyingsing, menuju Kunir Basini, di Sadeng bermalam Malam berganti malam, Baginda pesiar menikmati alam Sarampuan Sepeninggalnya beliau menjelang kota Bacok bersenang-senang di pantai Heran memandang karang tersiram riak gelombang berpancar seperti hujan
Tapi sang rakawi tidak ikut berkunjung di Bacok, pergi menyidat jalan Dari Sadeng ke Utara menjelang Balung, terus menuju Tumbu dan Habet Galagah, Tampaling, beristirahat di Renes seraya menanti Baginda Segera berjumpa lagi dalam perjalanan ke Jayakreta-Wanagriya


Pupuh XXIII

Melalui Doni Bontong, Puruhan, Bacek Pakisaji, Padangan terus ke Secang Terlintas Jati Gumelar, Silabango Ke Utara ke Dewa Rame dan Dukun.
Lalu berangkat lagi ke Pakembangan Di situ bermalam ; segera berangkat Sampailah beliau ke ujung lurah Daya Yang segera dituruni sampai jurang.
Dari pantai ke Utara sepanjang jalan Sangat sempit, sukar amat dijalani Lumutnya licin akibat kena hujan Banyak kereta rusak sebab berlanggar.


Pupuh XXIV

Terlalu lancar lari kereta melintas Palayangan Dan Bangkong, dua desa tanpa cerita, terus menuju Sarana, mereka yang merasa lelah ingin berehat Lainnya bergegas berebut jalan menuju Surabasa
Terpalang matahari terbenam berhenti di padang lalang Senja pun turun, sapi lelah dilepas dari pasangan Perjalanan membelok ke Utara melintas Turayan Beramai-ramai lekas-lekas ingin mencapai Patukangan


Pupuh XXV

Panjang lamun dikisahkan kelakukan para mentri dan abdi Beramai-ramai Baginda telah sampai di desa Patukangan Di tepi laut lebar tenang rata terbentang di Barat Talakrep Sebelah Utara Pakuwuan pesanggrahan Baginda Nata
Semua menteri, mancanegara hadir di Pakuwuan Juga jaksa Pasungguhan Sang Wangsadiraja ikut menghadap Para Upapatti yang tanpa cela, para pembesar agama Panji Siwa dan Panji Budha, faham hukum dan putus sastera


Pupuh XXVI

Sang adipati Suradikara memimpin upacara dan sambutan Diikuti segenap penduduk daerah wilayah Patukangan Menyampaikan persembahan, girang bergilir dianugerahi kain Girang rakyat girang raja, pakuwuan berlimpah kegirangan
Untuk pemandangan ada rumah dari ujung memanjang ke lautan Aneka bentuknya, rakit halamannya, dari jauh bagai pulau Jalannya jembatan goyah kelihatan bergoyang ditempuh ombak Itulah buatan Sang Arya bagai persiapan menyambut raja.


Pupuh XXVII

Untuk mengurangi sumuk akibat teriknya matahari Baginda mendekati permaisuri seperti dewa-dewi Para puteri laksana apsari turun dari kahyangan
Hilangnya keganjilan berganti pandang penuh heran-cengang Berbagai-bagai permainan diadakan demi kesukaan
Berbuat segala apa yang membuat gembura penduduk Menari topeng, bergumul, bergulat, membuat orang kagum Sungguh beliau dewa menjelma, sedang mengedari dunia.


Pupuh XXVIII

Selama kunjungan di desa Patukangan Para menteri dari Bali dan Madura Dari Balumbung, kepercayaan Baginda Menteri seluruh Jawa Timur berkumpul
Persembahan bulu bekti bertumpah-limpah Babi, gudel, kerbau, sapi, ayam dan anjing
Bahan kain yang diterima bertumpuk timbun Para penonton tercengang-cengang, memandang
Tersebut keesokan hari pagi-pagi Baginda keluar di tengah-tengah rakyat Diiringi para kawi serta pujangga Menabur harta, membuat gembira rakyat


Pupuh XXIX

Hanya pujangga yang menyamar Prapanca sedih tanpa upama Berkabung kehilangan kawan kawi-Budha Panji Kertayasa Teman bersuka-ria, teman karib dalam upacara ‘gama
Beliau dipanggil pulang, sedang mulai menggubah karya megah Kusangka tetap sehat, sanggup mengantar aku kemana juga
Beliau tahu tempat-tempat mana yang layak pantas dilihat Rupanya sang pujangga ingin mewariskan karya megah indah
Namun mangkatlah beliau, ketika aku tiba, tak terduga Itulah lantarannya aku turut berangkat ke desa Keta Meliwati Tal Tunggal, Halalang-panjang, Pacaran dan Bungatan Sampai Toya Rungun, Walanding, terus Terapas, lalu bermalam Paginya berangkat ke Lemah Abang, segera tiba di Keta


Perpustakaan Nasional RI, pada tanggal 21 Pebruari 2008 mendapatkan penghargaan dari UNESCO tentang koleksi Nagara Kretagama atau deskripsi suatu negara pada tahun 1365 masehi, yang terdaftar dalam The Memory of the World Regional Register for Asia/Pacific.

Dengan adanya penghargaan tersebut kita sebagai bangsa Indonesia merasa bangga atas kejayaan para leluhur.

Artefak Peninggalan Kebudayaan pra-Inca - chimu inca(peru)

Sejumlah artefak peninggalan kebudayaan Chimu ditampilkan di Museum Huaca de La Luna di Trujillo, Peru. Menurut Ketua Proyek Arkeologi, Oscar Gabriel Prieto, para arkeolog berhasil menggali sisa-sisa upacara pengorbanan untuk kesuburan laut dan tanah. Chimu adalah kebudayaan yang berkembang di sekitar Trujilo sekitar tahun 900 Masehi. Kebudayaan ini mulai punah pada 1470 sejak pasukan Inca yang dipimpin Tupac Inca Yupanqui menaklukkan kawasan tersebut. (Foto: REUTERS/ Mariana Bazo)


Patung tanah liat peninggalan kebudayaan Chimu pra-Inca ditampilkan di Museum Huaca de La Luna di Trujillo, Peru, Rabu (14/9). Foto: REUTERS/ Mariana Bazo

Seorang pekerja membersihkan dinding kuil Huaca de La Luna di Trujillo, Peru, Rabu (14/9). Foto: REUTERS/ Mariana Bazo

Sebuah bejana peninggalan kebudayaan Chimu pra-Inca ditampilkan di Museum Huaca de La Luna di Trujillo, Peru, Rabu (14/9). Foto: REUTERS/ Mariana Bazo

Patung kayu peninggalan kebudayaan Chimu pra-Inca ditampilkan di Museum Huaca de La Luna di Trujillo, Peru, Rabu (14/9). Foto: REUTERS/ Mariana Bazo

Sebuah artefak peninggalan kebudayaan Chimu pra-Inca ditampilkan di Museum Huaca de La Luna di Trujillo, Peru, Rabu (14/9). Foto: REUTERS/ Mariana Bazo

Seorang pekerja membersihkan dinding kuil Huaca de La Luna di Trujillo, Peru, Rabu (14/9). Foto: REUTERS/ Mariana Bazo

Minum Teh Setelah Makan, Bahaya!


Siapa tak suka minum es teh? Rasanya yang manis menyegarkan, berpadu dengan harga murah membuat es teh menjadi minuman favorit di segala suasana, termasuk saat berbuka puasa.

Popularitas es teh terbukti dengan kehadirannya di hampir semua tempat makan, mulai dari kelas warung hingga restoran mahal. Mungkin banyak yang setuju dengan jargon es teh kemasan, "Apapun makanannya, minumnya tetap es teh."

Tapi tahukah Anda, di balik kenikmatannya, es teh menyimpan potensi merugikan bagi kesehatan. Penelitian Loyola University Chicago Stritch School of Medicine mengungkap bahwa konsumsi es teh berlebih meningkatkan risiko menderita batu ginjal.

Seperti diberitakan dari laman Times of India, es teh mengandung konsentrasi tinggi oksalat, salah satu bahan kimia kunci yang memicu pembentukan batu ginjal. "Bagi mereka yang memiliki kecenderungan sakit batu ginjal, es teh jelas menjadi minuman terburuk," kata Dr John Milner, asisten profesor Departemen Urologi, yang tergabung dalam penelitian.

Milner mengatakan, teh panas sebenarnya juga menyimpan efek buruk yang sama. Hanya, takaran penyajian teh panas biasanya lebih kecil. Logikanya, orang meminum teh panas tak akan sebanyak minum es teh. Jarang orang yang mengonsumsi teh panas saat haus. Berbeda dengan es teh, di mana banyak orang sanggup meminumnya lebih dari segelas saat haus dan udara panas.

Pria, wanita posmenopause dengan tingkat estrogen rendah, dan wanita yang pernah menjalani operasi pengangkatan indung telur paling rentan terpapar dampak buruk es teh. Oleh karenanya, Milner menyarankan, mengganti konsumsi minuman itu dengan air putih, atau mencampurnya dengan lemon. "Lemon kaya kandungan citrates, yang dapat menghambat pertumbuhan batu ginjal," kata Milner.

Batu ginjal adalah kristal kecil yang terbentuk dari mineral dan garam yang biasanya ditemukan dalam air seni, ginjal atau saluran kemih. Mineral tak terpakai itu umumnya bisa keluar dari tubuh bersama urin, tapi dalam kondisi tertentu bisa mengendap dan membatu di dalam saluran kemih.

Peneliti juga mengungkap sejumlah makanan lain yang berpotensi menyimpan efek buruk. Mereka menyebut antara lain: bayam, cokelat, kacang-kacangan, garam, dan daging.

Sebaiknya, konsumsi es teh dan makanan-makanan itu secara moderat demi kesehatan ginjal. Padukan pula dengan makanan tinggi kalsium yang dapat mereduksi oksalat. Dan, tentu saja perbanyak minum air putih.

Begitu juga jika minum teh setelah makan. Minum teh setelah makan terbukti bisa mengakibatkan anemia. Hal tersebut berdasarkan riset dari Bagian Kesehatan Ibu dan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang.

Minum teh paling tidak sejam sebelum atau setelah makan akan mengurangi daya serap sel darah terhadap zat besi sebesar 64 %. Pengurangan daya serap akibat teh ini lebih tinggi daripada akibat sama yang ditimbulkan oleh minum segelas kopi setelah makan. Kopi mengurangi daya serap hanya 39 %.

Pengurangan daya serap zat besi itu diakibatkan oleh zat tanin dalam teh. Selain mengandung tanin, teh juga mengandung kafein, polifenol, albumin, dan vitamin. Tanin bisa mempengaruhi penyerapan zat besi dari makanan terutama yang masuk kategori heme non-iron, misalnya padi-padian, sayur-mayur, dan kacang-kacangan.

“Bila kita makan menu standar plus segelas teh, zat besi yang diserap hanya setengah dari yang semestinya”

Menurut Dr. Rachmad Soegih, ahli gizi dari RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, zat tanin itu sendiri memang menghambat produksi hemoglobin. Kalau memang mau menghindari teh dan mendapatkan banyak zat besi, sebaiknya teh digantikan air jeruk sebagai peneman makan.

“Makan nasi pecel dengan jeruk memperbesar penyerapan zat besi bila dibandingkan dengan minum es teh”

Kenapa? Vitamin C ternyata memperbesar penyerapan zat besi oleh tubuh.

Apakah fakta ini membuat minum teh harus ”diharamkan” sama sekali? Jangan salah. Soalnya, teh mengandung zat lain yang berfungsi positif.

Ada kiat minum teh yang tepat, agar minuman ini tidak menghambat produksi zat besi dalam sel darah:

* Teh akan berefek baik bagi tubuh bila dikonsumsi pada pagi dan sore, disertai karbohidrat dan protein, misalnya roti dan biskuit.

* Kiat lain, memberikan jeda minum teh setelah makan, misalnya dua jam setelah makan.

Jeda itu diperlukan karena rentang waktu itu diperkirakan cukup bagi usus 12 jari dan usus halus bagian atas untuk melakukan proses penyerapan makanan.

Jadi, boleh-boleh saja menyeruput teh kapan pun, asal tidak setelah makan. So, tunggu apalagi, buat secangkir teh hangat sekarang dan nikmatin deh. (fn/vs/kb) www.suaramedia.com

Jumat, 15 Juli 2011

Berburu Piramida Nusantara


Mentari nyaris berada di atas ubun-ubun, saat empat mobil menepi di pinggiran Jalan Raya Soreang-Cipatik, medio Februari 2011. Siang itu, Kampung Badaraksa yang terletak di lereng bukit, kedatangan tamu.
Rombongan itu menyusuri jalan kecil mendaki di tengah pemukiman penduduk, hendak menuju ke atas puncak Gunung Lalakon, yang terletak di Desa Jelegong, Kecamatan Kotawaringin, Kabupaten Bandung.
Dari Kampung Badaraksa yang berada di ketinggian sekitar 720 m di atas permukaan laut, mereka bergegas naik memutari bukit dari bagian selatan ke barat.
Sambil membawa berbagai peralatan dan beberapa gulungan besar kabel, rombongan membelah hutan gunung. Derap langkah kaki mereka seolah berkejaran dengan ritme suara jengkerik, dan tonggeret di kanan-kiri.
Tim yang terdiri dari sekelompok pemuda dan para peneliti itu, akhirnya sampai di puncak setinggi 988 meter dari permukaan laut.
Kabel direntang. Tim mulai memasang alat geolistrik yang mereka bawa. Sebanyak 56 sensor yang dipasangi altimeter (alat pengukur ketinggian) diuntai dari puncak bukit ke bawah lereng, masing-masing berjarak lima meter, dicatu oleh dua aki listrik.
Alat-alat itu berfungsi mendeteksi tingkat resistivitas batuan, dan bisa digunakan menganalisa struktur kepadatan batuan hingga ratusan meter ke bawah. “Tujuan kami saat itu mengetahui apakah ada bangunan tersembunyi di dalam gunung,” kata Agung Bimo Sutedjo, kepada VIVAnews, di Jakarta, Selasa, 15 Februari 2011.
***
Agung adalah Pendiri Yayasan Turangga Seta, organisasi yang punya hajat penelitian di gunung itu. Bak tokoh fiksi Indiana Jones, awak Turangga Seta memang punya kegemaran memburu jejak sejarah. Bukan atas hasrat memiliki, tapi mengungkap kegemilangan sejarah nenek moyang di masa lalu.
Komunitas itu berdiri sekitar 2004, digawangi oleh sekelompok profesional di berbagai bidang. Ada pengajar, kontraktor bangunan, pegawai negeri sipil, karyawan perusahaan swasta, juga mahasiswa. Beberapa di antara mereka punya kepekaan lebih terhadap kehadiran gaib, atau istilah keren mereka: parallel existence.
“Kami ini semua anak-anak MIT. Bukan Masachussetts Institute of Technology, tapi Menyan Institute of Technology,” kata anggota Turangga Seta Hery Trikoyo, bergurau. Sebab, dalam melakukan perburuan terhadap situs sejarah, kadang mereka mendapat sokongan informasi lokasi dari ‘informan tak kasatmata’.
Namun, karena dasarnya mereka adalah anak-anak yang mengenyam pendidikan tinggi, dorongan mereka membuktikan informasi tersebut, mengalir deras. Tak jarang para ‘arkeolog partikelir’ ini keluar malam-malam usai jam kerja, untuk menggali sebuah tempat demi membuktikan kebenaran hipotesa mereka.
Setelah mereka menemukan benda sejarah yang mereka maksud, lalu mereka menimbunnya kembali, tanpa diketahui oleh masyarakat umum. “Kami khawatir bila diketahui banyak orang, malah diambil atau dicuri,” kata Agung.
Kali ini, kedatangan mereka ke Gunung Lalakon dalam rangka membuktikan teori mereka, bahwa ada sejumlah piramid di Indonesia. Salah satu informasi awal didapatkan dari tafsiran mereka terhadap relief Candi Penataran.
Turangga Seta percaya bahwa kebudayaan Nusantara lebih tua daripada Kebudayaan Sumeria, Mesir, atau Maya. Mereka haqul yakin Indonesia memiliki situs candi atau piramida yang lebih banyak dan lebih megah dari peradaban Mesir dan Maya.
“Ada ratusan piramida di Indonesia, dan tingginya tak kalah dari piramida Giza di Mesir yang cuma 140-an meter,” kata Agung. Meski masih harus diuji secara ilmiah, pandangan Agung senada dengan teori Profesor Arysio Santos, yang menyebutkan Indonesia adalah peradaban Atlantis yang hilang. (Baca juga: Nusantara Memendam Atlantis?)
Keyakinan ini tentu saja membuat banyak orang mengernyitkan dahi. Turangga Seta sempat mem-post keyakinan mereka ihwal keberadaan piramida di Indonesia di sebuah forum online. lengkap dengan foto-fotonya. Hasilnya, mereka menuai cemoohan dan tertawaan. “Nanti, kalau semuanya terbukti, mereka tak bisa lagi tertawa,” kata Agung berapi-api.
***
Agung mungkin sedang sesumbar. Tapi, bisa juga tidak. Usai pengujian geolistrik di Gunung Lalakon, para peneliti yang datang bersama Agung cs. terbengong-bengong. Mereka bukan sembarang peneliti. Mereka adalah peneliti papan atas. Beberapa adalah pakar geolog ternama, yang kredibilitasnya tak diragukan. Tapi karena datang atas nama pribadi, kehadiran mereka di sana tak mau diungkap.
Setidaknya, kekaguman mereka sempat diabadikan dalam sebuah rekaman video milik tim Turangga Seta yang disaksikan VIVAnews. “Selama ini saya tidak pernah menemukan struktur subsurface seperti ini. Ini unnatural (tidak alamiah - red),” kata pakar geologi yang wajahnya sering terlihat di berbagai stasiun TV itu.
Lazimnya, sebuah lapisan tanah atau lapisan batuan akan menyebar merata secara menyamping atau horisontal. Tapi hasil uji geolistrik menyatakan terdapat semacam struktur bangunan yang memiliki bentuk seperti piramida, dan di atasnya terdapat lapisan batuan tufa dan breksi dengan pola selang-seling secara bergantian.
Pola batuan tufa dan breksi ini berulang secara melintang bukan mendatar, dengan kemiringan sama. “Seolah-olah piramida ini diuruk dan dibronjong secara sengaja, agar tak longsor,” kata Hery, yang berprofesi sebagai konsultan kontraktor bangunan.
Dalam lanjutan rekaman video berikutnya, pakar geologi tadi menunjuk sebuah bentukan berwarna biru. Dalam hasil uji geolistrik, warna biru menandakan sebuah tempat yang punya resistivitas paling rendah. “Ini mungkin semacam rongga yang bisa berisi air atau tanah lempung,” pakar geologi itu menerangkan. Bentukan tadi menyerupai semacam pintu.
Yang jelas, pakar geologi itu melanjutkan, kemungkinan besar temuan itu adalah struktur buatan manusia, karena proses alamiah sepertinya tak mungkin menghasilkan pola batuan semacam itu. “Ini jelas man-made,” kata dia.
VIVAnews sempat mengkonfirmasi salah satu pakar geologi yang turut dalam penelitian ke Gunung Lalakon bersama tim Turangga Seta. Awalnya ia menampik, dan mengatakan tak tahu-menahu keberadaan struktur bangunan mirip piramida di bawah Gunung Lalakon. Tapi belakangan secara tersirat ia mengakui hal itu.
“Saya no comment,” kata geolog kawakan Andang Bachtiar kepada VIVAnews, Rabu, 23 Februari 2011. Lebih jauh, mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) itu mengatakan hasil analisis itu masih belum bisa menyimpulkan apa-apa. Masih banyak hal yang perlu dibuktikan, kata Andang.
Tapi Andang kemudian mengaku, selain ke Gunung Lalakon di Bandung, juga ia mendampingi tim Turangga Seta menguji bukit serupa di daerah Sukahurip, Pengatikan, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Menurut Agung, timnya sudah melakukan pengujian geolistrik dan uji seismik di 18 titik di beberapa tempat di Indonesia. Di Bandung dan di Garut, mereka mendapat hasil kurang lebih sama. Semua serupa: indikasi adanya sebuah struktur bangunan yang mirip piramida di bawah bukit.
Bedanya, di bukit-piramida di Garut tak dijumpai adanya rongga seperti pintu, seperti halnya di Bandung. “Mungkin karena kami hanya mengujinya di salah satu bagian lereng bukit saja,” kata Hery Trikoyo. Sayang, Turangga Seta masih menutup rapat hasil uji mereka di tempat lainnya.
***
Turangga Seta mengklaim masih ada ratusan piramida lain yang tersebar di seluruh Indonesia. Salah satu pentolan Turangga Seta lainnya, Timmy Hartadi, dalam laman Facebook mereka mengatakan bahwa piramida-piramida itu tersebar di Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. (Lihat Infografik)
Klaim penemuan sebuah piramida tersembunyi di dalam bukit, tak hanya terjadi di Indonesia. Klaim ini juga sempat muncul di Bosnia. Pada 2006, seorang pengarang bernama Semir Osmanagic mengklaim penemuan ini, dan sempat mengatakan mereka menemukan piramida tersembunyi di bukit Visocica, kota Visoko, yang terletak di barat laut Sarajevo.
Osmanagic mengatakan penggalian piramida itu melibatkan arkeolog dari Australia, Austria, Irlandia, Skotlandia dan Slovenia. Namun, beberapa arkeolog yang disebut Osmanagic menolak klaim tersebut.
Seperti dikutip dari situs Archaeology.org, arkeolog dari Kanada yang disebut Osmanagic, Chris Mundigler mengaku tak pernah mendukung atau setuju bekerja di proyek tersebut. "Skema ini adalah sebuah kebohongan keji terhadap masyarakat awam, dan tak akan pernah mendapat tempat di dunia ilmu pengetahuan," kata pernyataan resmi dari Asosiasi Arkeolog Eropa.
Bagaimana dengan klaim piramid di Bandung dan di Garut?
Secara geomorfologis, bentuk Gunung Lalakon di Bandung maupun Gunung Sadahurip di Garut memang memiliki bentuk yang mirip dengan piramida. Mereka memiliki empat sisi yang nyaris simetris.


“Bentuknya kok begitu simetris ya? Lancipnya sangat simetris,” ujar arkeolog senior Profesor Edi Sedyawati, saat dijumpai VIVAnews di kediamannya di Jakarta, Rabu, 23 Februari 2011.
Namun, kata Edi, klaim dan hasil uji geolistrik masih belum cukup untuk mendapatkan kesimpulan akhir. Langkah selanjutnya adalah penggalian percobaan pengambilan sampel dengan memuat sebuah test bed untuk mengetahui apa benar ada indikasi lapisan-lapisan budaya dan ada bekas-bekas perbuatan manusia atau tidak.
“Tapi ini harus betul-betul penggalian arkeologi yang meminta izin kantor suaka purbakala dan melibatkan arkeolog, karena harus ada pertanggung jawaban dan laporan, dari mili ke mili (milimeter, red)," kata Edi Sedyawati.
Turangga Seta pun tengah mengusahakan izin pengambilan sampel tanah di Gunung Lalakon kepada Pemda Jawa Barat. “Kami hanya perlu menggali tanah di lokasi, selebar sekitar 3-4 meter dengan kedalaman sekitar 3 meter,” kata Agung.
***

Gunung Lalakon dikelilingi beberapa bukit lain seperti bukit Paseban, Pancir, Paninjoan, Pasir Malang. Di bukit Paseban ada tiga buah batu, yang dua di antaranya terdapat telapak kaki manusia dewasa, dan telapak kaki anak-anak.
Menurut Edi, bila benar batu telapak itu peninggalan sejarah, kemungkinan ini berasal dari zaman megalitikum. Batu telapak juga sudah dijumpai di tempat lain, seperti prasasti Ciaruteun, peninggalan Raja Purnawarman dari kerajaan Tarumanegara. “Cap telapak kaki biasanya diabadikan sebagai monumen mengenang pemimpin suatu daerah,” kata Edi.
Cap kaki juga erat kaitannya dengan konsep Triwikrama atau tiga langkah yang berkembang di masa itu. Saat itu, mereka percaya bila seseorang hendak naik ke dunia dewa-dewa, mereka harus menjejak dengan keras agar dapat melompat tinggi sekali.
Sementara itu, di Gunung Lalakon juga terdapat beberapa situs batuan, seperti Batu Lawang, Batu Pabiasan, Batu Warung, Batu Pupuk, Batu Renges, Batu gajah, dan sebuah batu panjang yang terletak di atas puncak.
Menurut Abah Acu, tokoh masyarakat Kampung Badaraksa, secara filosofis, Gunung Lalakon adalah perlambang sebuah lakon dari kehidupan manusia. Batu-batu tadi merepresentasikan berbagai lakon atau profesi yang dipilih oleh manusia.
Namun, keberadaan batu-batu tadi kerap disalahgunakan. Banyak orang datang ke tempat batu di Gunung Lalakon mencari pesugihan. Bahkan, menurut Jujun, tokoh agama Islam di tempat itu, dulu banyak orang datang ke Batu Gajah mencari ilham judi buntut. “Banyak pula yang berhasil menang,” kata Jujun.
Jujun menerangkan, di Gunung Lalakon secara rutin juga digelar acara ritual tolak bala, yakni dengan membuat nasi tumpeng kemudian dibagikan dan dimakan oleh penduduk. “Acara ini diadakan setiap tahun, biasanya setiap tanggal 1 Syuro.”
Berbeda dengan tradisi di Gunung Lalakon, masyarakat di sekitar Gunung Sadahurip relatif lebih ‘modern’. Menurut Nanang, warga Kampung Cicapar Pasir, kampung terdekat Gunung Sadahurip, di sana tak ada tradisi tolak bala. Masyarakat sekitar juga tak terlalu peduli dengan mitos gunung itu di masa lalu.
***
Pakar sejarah dari Universitas Padjadjaran, Prof. Dr. Nina Herlina Lubis, mengatakan di Tatar Sunda yang meliputi Jawa Barat, Banten, DKI, dan sebagian Provinsi Jawa Tengah, terutama dataran tinggi seperti Banten Selatan, Cianjur, Sukabumi, Bandung, Garut, Kuningan, dan Bogor, banyak ditemukan peninggalan budaya megalitikum. Tinggalan-tinggalan itu di antaranya berupa batu menhir, bangunan berundak, batu lumpang, peti kubur batu, batu dakon, dan arca megalitik.
Namun, Nina menjelaskan, sejarah di Tatar Sunda tak mengenal bangunan piramida karena tak ada kebiasaan di Tatar Sunda membuat bangunan piramida dengan ketinggian hampir ratusan meter sebagai tempat suci. “Tempat suci di Tatar Sunda ini seringkali disebut multi-component sites atau situs berkelanjutan,” kata Nina melalui surat elektronik kepadaVIVAnews.
Bila pada masa prasejarah tempat suci itu dikenal sebagai punden berundak-undak, tempat pemujaan leluhur, maka ketika budaya Hindu Budha (yang hidup pada masa Kerajaan Tarumanegara dan Kerajaan Sunda), tempat suci itu terus dipergunakan.
Hanya saja menhir dijadikan sebagai lingga, lalu bangunan berundak itupun diwujudkan dengan gunung yang di atasnya dibangun lingga. Saat Kerajaan Sunda runtuh, maka lingga pun diganti dengan nisan bagi makam tokoh yang dianggap keramat.
Saat diberitahu di bukit-piramida Bandung maupun Garut ada makam yang dikeramatkan, serta adanya keluarga keturunan Syekh Abdul Muhyi, penyebar agama Islam di kawasan Priangan Timur, yang hidup dua abad setelah Kerajaan Sunda runtuh, Nina berusaha membuat konklusi dan analisa.
“Saya menduga bahwa bukit berbentuk piramida ini, adalah mandala (daerah pertapaan berupa dusun mandiri yang terletak di tempat terpencil), yang sudah tercampur dengan budaya yang datang kemudian (yaitu Hindu-Budha-Islam),” ujar Nina.
Namun untuk mengungkap apa sesungguhnya yang tersembunyi di balik bukit berbentuk piramid itu, kata Nina, para geolog harus bekerjasama dengan para arkeolog untuk melakukan ekskavasi (penyingkapan).
***
Cerita soal penemuan bukit berstruktur piramida ini rupanya telah sampai pula ke Istana Presiden. Seorang pejabat di lingkaran presiden, kepada VIVAnews mengaku telah dilaporkan ihwal riset itu. Untuk keterangan soal ini, dia minta tak disebutkan namanya, menimbang riset yang belum rampung.
“Ya, saya sudah lihat analisis geolistrik dan georadar-nya. Saya menyaksikannya dalam bentuk tiga dimensi. Menakjubkan, dan masih misterius. Tim riset itu dipimpin oleh para geolog terpercaya,” ujar si pejabat itu lagi, Rabu pekan lalu.
Tapi, pejabat itu tak mau menjelaskan detil penemuan. Sang geolog, ujarnya, belum mau diungkapkan ke publik. “Masih didalami oleh tim riset mereka, tetapi dari hasil yang ada, memang mencengangkan,” ujarnya.
Dia melukiskan, dari hasil geolisitrik tampak struktur berbentuk piramida di dalam bukit itu. Ada undak-undakan, mirip tangga menuju puncak piramida. Di bagian dasar, ada semacam pintu, dan tampak juga sesuatu yang mirip lorong di dalamnya.
Dia menambahkan, para ahli itu percaya ada semacam struktur geologis tak biasa di dalam gunung menyerupai piramida itu. Para ahli geologi itu, kata si pejabat istana, mempertaruhkan kredibilitas keilmuan mereka. “Kita tunggu saja. Kalau riset dan pembuktian ilmiah sudah lengkap, pasti akan dibuka ke masyarakat”.
Mungkin inilah masa penantian yang cukup menegangkan. Adakah bukit piramida ini sekadar dongeng ala piramida Bosnia yang berulang, atau memang suatu pengungkapan gemilang tentang adanya suatu peradaban besar di Nusantara yang belum pernah terungkap? (np)
sumber: VIVAnews